ANALISIS PUISI TAUFIK ISMAIL BERDASARKAN TEORI MARXIS GEORGE LUKACS

(Rustanto)
PENDAHULUAN
Menurut Selden (1986: 23), di antara kritik sastra, tradisi Marxis dianggap sebagai memiliki sejarah yang paling panjang. Tradisi ini diawali dengan gagasan-gagasannya mengenai peranan ideologi dan kebudayaan yang dikemukakan tahun 19840-an. Salah satu pernyataanya hingga sekarang banyak dikutip orang, sekaligus mendasari argumentasi penelitian kritik sosial adalah: “keberadaan sosial manusia menentukan kesadaran  sosialnya, bukan sebaliknya”. Argumensi ini jugalah yang dianggap sebagai dasarteori-teori Marxis selanjutnya, yang juga diadopsi oleh kritik kultural lain, termasuk teori kontemporer.
Terlepas dari popularitasnya, argumentasi di atas jugalah yang merupakan titik awal kecurigaan orang-orang terhadap ideologi Marxis itu sendiri. Menurutnya, dengan mempertimbangkan dominasi keberadaan sosial manusia atas kesadarannya, maka secara tidak langsung mengarahkan mayarakat menjadi komunis. Secara sistematis pragmatis Marx menggambarkan bahwa sistem dan hukum sosial bukanlah perwujudan akal manusia secara murni, melainkan merupakan manifestasi kepentingan kelas dominan dalam periode-periode bersejarah tertentu. Gagasan dasar ini pulalah yang membawa Marx ke dalam penemuan hukumnya yang sangat spesifik, yaitu superstruktur ideologis (ideologi dan politik) bertitik tolak pada infrastruktur material (ekonomi) (Ratna, 2010:154).
Parafrase ‘bertitik tolak pada’ tidak sama dengan ‘ditentukan oleh’. Parafrase inilah yang sering disalahtafsirkan sekaligus merupakan sumber perdebatan pendapat sekaligus penolakan terhadap ide-ide Marxian. Parafrase bahwa sistem ideologi, dalam hal ini karya sastra, bertitik tolak pada sistem ekonomi, dalam hubungan ini kekuatan struktur sosial yang melatarbelakanginya, tidak harus diartikan sebagai sistem hubungan dalam bentuk garis lurus, sebagai hubungan yang monolitik. Sebaliknya, hubungan antara sistem ideologi dengan sistem ekonomi melibatkan suatu sistem model yang sangat kompleks (Ratna, 2010:155).
Menurut Selden (1986:23) kanon-kanon kesusasteraan besar dihasilkan oleh masyarakat. Kenyataan ini menjadi isu yang sangat penting dalam teori kontemporer, khususnya teori-teori yang memberikan intensitas pada peranan pembaca. Secara praktis karya sastra lahir dan kemudian diterbitkan hanya satu kali. Tetapi bagaimana karya tersebut menjadi khasanah bagi masyarakat luas jelas tergantung dari penerimaan masyarakat selanjutnya. Tanggapan inilah yang menentukan sebuah karya sastra akan diapresiasi dan kemudian diterbitkan kembali, atau sebalikya hilang sama sekali dari pengetahuan masyarakat.
Ada hubungan bermakna antara masyarakat dengan aliran. Aliran romantik timbul sebagai akibat penolakan masyarakat terhadap dominasi rasionalisme Abad Pertengahan. Demikian pula halnya dengan peranan masyarakat itu sendiri dalam berbagai bidang kehidupan yang pada gilirannya akan menghasilkan aliran baru yang disebut realisme. Artinya, karya sastra ditulis atas dasar kenyataan, bukan semata-mata harapan. Dikaitkan dengan hubungan antara ideologi dan kebudayaan sebagaimana dinyatakan melalui tradisi Marxian di atas, jelas terjadi saling mempengaruhi antara teori Marx denan masyarakat di satu pihak, antara masyarakat dengan genre sastra di satu pihak yang lain (Ratna, 2010: 159)
Penolakan terhadap teori-teori Marxis terjadi di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh,pertama, sebagai akibat kesalahpahaman dalam menterjemahkan inti Marxisme itu sendiri, yaitu ideologi. Istilah idiologi dimanfaatkan di luar makna leksikal, selalu dikaitkan dengan Marxisme, dalam hubungan ini marxisme ortodoks. Kedua, sebab-sebab yang bersifat politis, sekaligus bersifat lebih peka adalah kenyataan bahwa di Indonesia ideologi Marxis seolah-olah sudah dimasukkan sebagai black list sebab telah dianggap membahayakan stabilitas negara sebagaimana yang terjadi pada saat G.30S./PKI tahun 1965. Kedua indikator di atas menyebabkan bahwa dalam waktu yang cukup lama, sejak tahun 1965 hingga berakhirnya Orde baru, ideologi Marxis sama sekali dilarang, termasuk buku-buku sastra. Sebagai suatu kebijakan pemerintah, sebagai langkah-langkah preventif dalam memperhatikan stabilitas negara, langkah-langkah tersebut dapat diterima. Hal ini menunjukkan bahwa karya sastra memilki peranan yang cukup besar dalam masyarakat. Meskipun demikian, dengan melihat perkembangan ideologi secara global di satu pihak, perkembangan cara-cara berpikir bangsa semakin dewasa di pihak lain, maka sebagai teori, ideologi Marxis tidak harus ditolak untuk selama-lamanya.
Seperti disinggung di atas, konsep-konsep Marxis telah dimanfaatkan hampir pada semua bidang ilmu, khususnya humaniora. Kenyataan menunjukkan bahwa konsep-konsep terbut bermanfaat untuk menganalisis dan memahami keberagaman aspek-aspek kebudayaan. Yang diperlukan kemudian adalah sikap ilmiah. Objektivitas dalam memanfaatkannya di lapangan sehingga dimanfaatkan secara teoritis, bukan praktis. Eagleton, Althusser, Lukacs, Brecht, Goldmann, Jameson, dan sebagainya adalah sejumlah sarjana yang secara konsisten memanfaatkan teori-teori Marxis dalam memahami karya sastra.
Dilihat dari segi hakikatnya, antara Marxisme dengan strukturalisme jelas bertentangan. Marxisme memiliki konsep dasar bahwa superstruktur ideologis, dalam hal ini karya sastra seolah-olah “ditentukan” oleh infrastruktur materialnya, yaitu masyarakatnya. Sebaliknya, menurut prinsip strukturalisme itu sendiri, karya sastra bersifat otonom, perkembangan karya sastra ditentukan oleh dan terjadi dalam struktur tertutup. Dengan kalimat lain, Marxisme bersifat historis, sedangkan strukturalisme bersifat sinkronis, jadi, ahistoris. Oleh karena itulah, sebelum menjadi strukturalisme, yaitu formalisme, dilarang di Rusia. Formalisme kemudian berkembang di Cekoslovakia, yang kemudian melanjutkan perjalanannya ke Amerika.
Penerimaan dan pekembangan teori-teori Marxis di Indonesia, seperti telah disinggung di atas, dipengaruhi oleh citra negatif Partai Komunis Indonesia dengan organisasi masyarakatnya, khususnya Lembaga Kebudayaan Rakyat. Citra negatif yang dimaksudkan diakibatkan oleh pemberontakan Masiun 1948 yang dipimpin oleh Muso. Citra ngatif itu dapat direhabilitasi oleh pemimpin baru yaitu D.N. Aidit, Lukman dan Nyoto. Pada tahun 1060, sepuluh tahun setelah berdirinya Lekra, PKI sudah berhasil menanamkan pengaruhnya, bahkan sudah dianggap sebagai salah satu partai politik terkuat. Menyadari pesatnya PKI/Lekra, maka para penulis yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Nasional meresmikan Manifes Kebudayaan pada tahun 1963.  Pada era selanjutnya, untuk mengatisipasi agitas Lekra pada tahun 1950 para sastrawan melahirkan Manifesto yang disebut Surat Kepercayaan Gelanggang. Pada akhirnya, puncak kejayaan sekaligus keruntuhan PKI/ Lekra selesai tanggal 30 September 1965 dengan gagalnya kudeta terhadap pemerintah RI. Tanggal 12 Maret 1966 akhirnya PKI dan ormas-ormasnya dilarang di Indonesia.
Selama lebih kurang tiga dasawarsa, selama pemerintahan Orde Baru, idiologi Marxis, bahkan buku-buku literatur, termasuk karya fiksi yang dianggap mengandung ideologi Marxis dilarang terbit, beredar, dan dibaca. Situasi berubah mulai paro kedua periode 1990, dengan lahirnya Orde Reformasi.
Jika dikaitkan dengan dunia sastra Indonesia yang objek materialnya menggunakan bahasa Indonesia dan objek formalnya banyak mengambil tema-tema ke-indonesiaan, penggunaan teori sastra Marxis dalam meneliti karya sastra mungkin masih terasa aneh dan asing. Hal ini dikarenakan teori sastra Marxis – yang basisnya diambil dari filsafat Marxisme – masih relatif asing dan cenderung dijauhi oleh para penulis sastra Indonesia karena stigma terhadap Karl Marx sebagai pemikir yang melihat masyarakat dalam perspektif pertentangan kelas, misalnya kaum proletariat dihadapkan dengan kaum kapitalis. Akan tetapi, sesungguhnya teori sastra Marxis dapat dijadikan salah satu pisau analisis dalam mengkaji fenomena-fenomena budaya, karena budaya adalah fenomena manusia, yakni terkait dengan manusia, maka objek yang terkait dengannya tentulah komunitas manusia. Karya sastra adalah produk pikiran dan perasaan manusia. Demikian juga karya sastra Indonesia, baik puisi maupun prosa dan drama adalah juga produk pikiran dan perasaan manusia-manusia Indonesia.
Selama ini para peneliti sastra Indonesia lebih cenderung menggunakan teori-teori sastra yang sangat terbatas dalam meneliti puisi atau prosa, terutama novel-novel modern. Teori sastra yang sering digunakan oleh peneliti adalah teori struktural dan semiotik, sementara teori-teori lain seperti feminisme, resepsi, sosiologi sastra, pascakolonialisme, pascastrukturalisme, apalagi teori sastra Marxis, sangat jarang dimanfaatkan, untuk yang terakhir boleh dikatakan hampir tidak pernah digunakan. Ada sejumlah peneliti sastra Indonesia yang memanfaatkan teori resepsi yang memfokuskan penelitiannya pada sambutan pembaca.
Oleh karena itu, makalah ini mencoba memberikan wacana tambahan bagi para peneliti sastra untuk menggunakan pisau analisis teori sastra Marxis dalam mengkaji puisi-puisi Indonesia modern. Langkah ini dimaksudkan agar para peneliti sastra dapat mengungkapkan dialogdialog sosial yang terjadi dalam puisi Indonesia modern, dan dapat mengetahui ideologi apa yang digunakan oleh pengarang dalam karya sastranya.
Selanjutya pada makalah ini, pemikiran dan konsep dasar Marxisme tentang teori sastra yang digunakan oleh penulis adalah pandangan Georg Lukacs. Pemikir teori ini terinspirasi, sedikit atau banyak, oleh pemikiran Marx, terutama dalam memahami konsep pertentangan kelas dan konsep ideologi yang dianut oleh individu atau kelompok masyarakat.
Berdasarkan paparan di atas, dapat dikatakan bahwa teori sastra Marxis dapat dipertimbangkan dan dicoba untuk diterapkan dalam penelitian puisi-puisi modern Indonesia, terutama yang ditulis oleh para sastrawan Indonesia terkenal seperti Taufik Ismail. Usulan ini didasarkan pada satu asumsi bahwa cerita dalam puisi karya para sastrawan Indonesia modern tersebut banyak yang membicarakan perlawanan kelas sosial bawah untuk mendapatkan hak-hak hidup mereka kepada para pemimpinnya atau majikannya. Di samping itu, melalui teori sastra Marxis ini juga dapat diungkapkan ideologi pengarang dan ideologi yang berkembang dalam masyarakat di tempat pengarang itu hidup. Alasan penawaran penggunaan teori sastra Marxis dalam makalah karya-karya sastra Indonesia modern didasarkan pada beberapa alasan sebagai berikut.
Pertama, teori sastra Marxis belum dipandang sebagai teori yang dapat menganalisis fenomena-fenomena budaya Indonesia, khususnya karya-karya sastra Indonesia modern. Hal ini disebabkan oleh masih melekatnya stigma di kalangan para sastrawan atau ahli sastra Indonesia yang memandang Marx sebagai tokoh komunis, sehingga seperti ada sekat kuat yang menghalangi mereka untuk menggunakan teori sastra Marxis ini, padahal teori ini dapat mengungkap kenyataan sosial masyarakat Indonesia modern yang komplikatif.
Kedua, para peneliti sastra Indonesia modern, khususnya di Indonesia, belum memandang teori sastra Marxis ini sebagai teori handal yang mampu menganalisis isi puisi, cerita dalam novel-novel dan cerpen-cerpen Indonesia modern atau pemikiran dan ideologi baru yang tertuang dalam puisi-puisi Indonesia kontemporer. Keterbukaan akademik dalam diri peneliti harus lebih diperlebar untuk membuka seluas-luasnya wilayah penelitian sastra Indonesia  modern.
Ketiga, pelajaran teori sastra Marxis belum diperhatikan secara sungguh-sungguh oleh para pengajar teori sastra, khususnya dalam perkuliahan, termasuk belum dimasukkan dalam satuan acara perkuliahan sehingga teori ini masih tetap asing atau belum akrab bagi para mahasiswa dan pengajar sastra Indonesia, khususnya pada tingkat S1. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan awal yang memadai tentang teori sastra Marxis untuk kemudian ditawarkan kepada para peneliti sastra Indonesia sebagai salah satu teori rujukan dalam mengkaji karya-karya sastra Indonesia modern.
Makalah ini – secara prosedur aplikatif – berupaya untuk menerapkan penggunaan teori sastra Marxis dalam mengkaji karyakarya sastra Indonesia dengan tujuan : (i) mengungkapkan keterkaitan teori sastra Indonesia dengan masyarakat yang di dalamnya hidup seorang pengarang; (ii) mengungkap keterkaitan teks sastra Indonesia dalam kaitannya dengan kehidupan orang dalam masyarakat dan budaya Indonesia; (iii) mengetahui sejarah masyarakat Indonesia sebagai sejarah transformasi dialektis dalam hubungan antara masyarakat Indonesia dalam karya sastra; (iv) mengetahui konsep perjuangan kelas masyarakat Indonesia melalui puisi modern; (v) menerapkan penggunaan teori sastra Marxis dalam penelitian karya sastra puisi Indonesia modern, khususnya puisi Taufik Ismail.
TEORI MARXISME
Kritik sastra marxis, lebih dari sekadar “sosiologi sastra” yang memusatkan perhatiannya pada alat-alat produksi sastra, ditribusi, dan pertukarannya dalam masyarakat. Secara keseluruhan sosiologi sastra membentuk salah satu aspek kritik sastra marxis yang memusatkan perhatian pada bentuk, gaya, dan maknanya sebagai produk dari sejarah tertentu. Pemahaman yang revolusioner terhadap sejarah tersebutlah yang menjadi kekhasan kritik sastra marxis.
Dalam bukunya The German Ideology (1845) Marx dan Engels mengungkapkan bahwa “model produksi kehidupan material mengkondisikan proses kehidupan sosial, politik, dan intelektual pada umumnya. Bukan kesadaran manusia yang menentukan kehidupan mereka tapi kehidupan sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka”. Dengan kta lain, hubungan sosial antar manusia terkait dengan cara mereka berproduksi dalam kehidupan material.
Marxisme dan Kritik Sastra dimulai dengan hubungan sosial antara budak dan majikan yang dikenal dengan feodalisme, pada tahap selanjutnya terdapat model baru produksi yang melibatkan kelas kapitalis yang menguasai alat produksi dengan kaum proletar yang tenaganya diperas guna mendapat keuntungan. Hubungan tersebut oleh kalangan marxis disebut ‘basis ekonomi’ atau ‘infrastruktur’ yang merupakan struktur ekonomi masyarakat.  Dari basis ekonomi, muncullah superstuktur yaitu bentuk-bentuk hukum dan politik, bentuk negara yang berfungsi melegitimasi kekuasaan kelas sosial yang memiliki alat-alat produksi ekonomi. Tidak hanya itu supersutruktur juga merupakan kesadaran sosial yang bersifat politis, religius, etis, estetis, yang disebut ideologi yang berfungsi untuk melegitimasi kekuasaan kelas yang berkuasa dalam masyarakat. Sehingga, pandangan yang dominan  dalam masyarakat merupakan pandangan dari kelas yang berkuasa.
Seni bagi marxisme merupakan bagian dari “superstruktur” masyarakat yang menjamin situasi penguasaan satu kelas sosial atas kelas sosial lainnya yang dilihat sebagai sesuatu yang “natural” atau bahkan tidak terlihat sama sekali. Memahami kesusastraan berarti memahami keseluruhan proses sosial dimana kesusastraan itu sendiri menjadi bagian darinya. Walau merupakan bagian dari superstruktur, kesusastraan tidak sekadar cerminan pasif dari basis ekonomi.
Eagleton memperlihatkan contoh analisis Marx mengenai hubungan antara seni, basis dan superstruktur. Kata Marx, Masyarakat Yunani mampu memproduksi seni yang unggul lebih dikarenakan keadaan masyarakatnya yang belum maju. Ketertarikan masyarakat modern terhadap semisal ‘Spartacus’ dikarenakan mengingatkan kita pada masyarakat kuno yang dalam masyarakat tersebut terlihat hubungan antara manusia dan alam yang telah dihancurkan masyarakat kapitalis dan yang dapat diproduksi kembali oleh masyarakat sosialis pada level yang lebih tinggi.
Lebih jauh, Engels menjelaskan bahwa seni tidak semata-mata bersifat ideologi. Ideologi yang dimaksud bukan hanya sekumpulan doktrin, tapi juga menggambarkan bagaimana manusia memainkan perannya dalam masyarakat kelas, nilai-nilai, dalam ide dan citra yang mengikat mereka pada fungsi sosial dan mencengah mereka dari pengetahuan yang benar tentang masyarakat sebagai suatu keseluruhan (2002: 31). Engels melihat dua posisi ekstrem dan berlawanan terkait hubungan antara seni dan ideologi. Pertama, kesusastraan adalah ideologi dalam bentuk artistik tertentu, tidak sekadar ekspresi ideologis dari masanya. Kedua, berpegang pada banyaknya karya sastra yang berlawanan dengan ideologi dan menjadikannya sebagai definisi karya seni itu sendiri. Sedangkan Eagleton, lebih menyukai pandangan Louis Althusser yang mengatakan bahwa seni tidak dapat direduksi hanya pada ideologi, melainkan memiliki hubungan yang khas dengan ideologi.
George Lukacs dalam bukunya The Evolution of Modern Drama (1909), menulis bahwa elemen sosial sejati dalam kesusastraan adalah bentuk. Hal ini jelas bertentangan dengan kritik sastra aliran Mrxis yang menolak semua jenis formalisme dan memberi perhatian berlebih pada masalah teknis yang menghilangkan sifat historis kesusastraan dan mereduksinya lebih dari sekarang permainan estetis. Selain itu, kritik sastra Marxis kurang memberi perhatian pada persoalan bentuk artistik dan lebih memusatkan pada persoalan isi politis kesusastraan.
Marx sendiri memiliki keyakinan estetik, bahwa bentuk tidak akan bernilai kecuali merupakan bentuk dari isinya. Marx berpegang pada tradisi Hegelian, bahwa setiap isi menghasilkan bentuk yang cocok dengannya. Tidak hanya itu, seni menunjukan tahap yang berbeda dalam perkembangan ”the world spirit”, ide, atau ”yang absolut”. Isi seni yang terus menerus mewujudkan dirinya dalam bentuk artistik yang cocok. Baik Marx ataupun Hegel setuju bentuk artistik bukan hanya soal kebiasaan kreativitas seniman. Bentuk, secara historis ditentukan oleh “isi” yang harus diwujudkan, ia berubah, berganti, rusak dan menjadi lebih revolusioner bersamaan dengan berubahnya isi. ”isi” dalam pengertian tersebut mendahului ”bentuk”. Perubahan “isi” material masyarakat, model produksinya, menentukan, bentuk-bentuk suprastruktur masyarakat tersebut. Pada akhirnya kritik sastra marxis menegaskan bahwa isi lebih menentukan bentuk.
Konsepsi bentuk-isi tersebut berbeda dengan dua konsepsi lain yang saling berlawan. Pertama menyerang kaum formalis yang menganggap isi hanya fungsi dari bentuk-bentuk. Kedua, mengritik gagasan kaum marxis vulgar yang mengatakan bentuk artistik hanyalah sesuatu yang artifisial dan dipaksakan dari luar pada isi sejarah itu sendiri.
Perkembangan penting dalam bentuk sastra dihasilkan dari perubahan dalam ideologi. Perubahan tersebut mewujudkan cara baru dalam melihat kenyataan sosial dan mewujudkan hubungan baru antara seniman dan audiens. Hal tersebut tampak dari kemunculan novel di abad ke-18 yang menurut Ian Watt, dari segi bentuknya mengungkapkan serangkaian kepentingan ideologis yang berubah. Apapun isi yang terkandung dalam sebuah novel tertentu dari suatu masa, mempunya struktur formal yang mirip karya lain sejenisnya.
Dalam pandangan Eagleton, bentuk merupakan kesatuan yang kompleks dari tiga elemen: 1) sebagian dibentuk oleh ‘otonomi relatif’ sejarah bentuk sastra, 2) juga ditentukan oleh struktur ideologi yang dominan, 3) hubungan antara pengarang dan audiens. Kesatuan tiga elemen ini yang dianalisis oleh kritik sastra marxis. Dengan demikian, dalam memilih suatu bentuk, pengarang akan menemukan bahwa pilihannya secara ideologis telah dibatasi.
Masalah bentuk juga mendapat perhatian serius dalam karya George Lukacs. Sebelum menjadi Marxis, Lukacs melihat novel sebagai “epik borjois”. Setelah menjadi Marxis, ia menganggap seniman yang besar adalah mereka yang dapat menangkap dan menciptakan kembali totalitas harmonis kehidupan manusia. Konsep utama Lukacs adalah “totalitas”, “kekhasan” (typicality), dan dunia-historis yang lebih mirip konsep hegelian dibanding Marxis.
Lucien Goldmann, berusaha mengulas struktur sebuah teks sastra dengan tujuan mengetahui sampai sejauh mana teks itu mewujudkan struktur pemikiran (atau “visi dunia”, world vision) dari kelompok atau kelas sosial dari mana pengarang berasal. Bagi Goldmann, karya sastra tidak dilihat sebagai ciptaan individu, melainkan ciptaan dari apa yang ia sebut “struktur mental trans-individual” dari kelompok sosial. Metode kritik sastra Goldmann tersebut disebut sebagai kritik sastra “strukturalisme genetik”.
Sedangkan Macherey melihat karya sastra terikat pada ideologi bukan pada apa yang dikatakannya melainkan apa yang tidak dikatakannya. Ia juga melihat karya sebagai sesuatu yang tak terpusat (decentered), tak ada makna atau struktur sentral yang ada hanya pertentangan dan perbedaan makna yang terus menerus hadir. ”Keterpecahan”, ”penyebaran”, ”keragaman”, dan ”ketidakteraturan” adalah istilah-istilah yang kerap digunakan Macherey.
Salah satu kecenderungan lain kritik sastra marxisme adalah mengasumsikan kesusastraan sebagai ‘refleksionisme’, ‘mencerminkan’, atau ‘mereproduksikan’ realitas sosial secara langsung. Menariknya, baik Marx ataupun Engles tidak menggunakan istilah ‘pencerminan’ dalam hal karya sastra. Meskipun demikian refleksionisme menjadi salah satu cara untuk melawan teori-teori kaum formalis yang memenjarakan sastra pada satu ruang tertutup, terlepas dari sejarah.
Pada bagian akhir bukunya, Pengarang sebagai Produsen, Eagleton mengungkapkan bahwa kesusastraan mungkin merupakan suatu artefak, produk kesadaran sosial, ataupun suatu visi dunia. Namun, bagi seorang marxis, kesusastraan juga merupakan komoditas yang diproduksi oleh penerbit-penerbit dan dijual ke pasar untuk mendapatkan keuntungan. Sehingga, seorang pengarang, menurut Marx dalam bukunya Theories of Surplus Value, merupakan pekerja bukan karena ia memproduksi gagasan, tetapi karena ia memperkaya penerbit, dan bekerja untuk mendapatkan upah. Seni, menurut Engels merupakan produk sosial yang paling kuat dihubungkan dengan basis ekonomi, namun ia juga bagian dari basis ekonomi –suatu jenis tindakan ekonomi, jenis produksi komoditi, diantara jenis-jenis tindakan dan produksi ekonomi lainnya.
Tidak hanya itu, bagi Brecht dan Benjamin pengarang pada dasarnya adalah produksen yang dapat disamakan dengan para pembuat produk sosial lainnya. Macherey juga menolak gagasan pengarang adalah kreator karena pada dasarnya pengarang adalah produsen yang mengolah bahan yang sudah tersedia menjadi sebuah produk baru. Sedang Marx melihat masyarakat kapitalis yang lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas yang mengubah semua produk sosial menjadi komoditi pasar adalah masyarakat yang memusuhi seni. Sebagai pamungkas, Eagleton mengungkapkan bahwa kritik sastra Marxis adalah bagian dari upaya pembebasan dari penindasan sehingga berharga untuk didiskusikan.
BIOGRAFI DAN TEORI REALISME GEORG LUKACS
Lukacs  lahir 13 april 1885 dengan nama Georgi Bernat Lowinger dari lingkungan  keluarga bangsawan kaya di Budapes, Hungaria. Lima tahun kemudian ayahnya Joszef Von Lukacs, mengganti nama Georgi Bernat Lowinger dengan George Lukacs.  Meskipun lahir di tengah budaya Hungaria, anak ke dua dari tiga bersaudara ini lebih banyak berbicara tentang kultur dan filsafat Jerman. Hal ini disebabkan karena Lukacs merasa  kurang puas dengan tradisi tanah leluhurnya, seperti diungkapkan dengan sebuah catatan kecilnya tentang tradisi kebudayaan Hungaria tempat ia dilahirkan dan meninggal. 
George Lukacs termasuk salah satu kritikus sastra yang punya pengaruh penting pada zamannya, ia juga filsuf modern yang cukup disegani sekaligus kontroversial di kalangan para filsuf sezaman, bahkan pemikirannya ikut mewarnai tradisi filsafat Jerman. Banyak orang menyebut Lukacs sebagai kritikus sastra dan filsuf marxis, karena teori sastra dan telaah filsafat Lukacs merupakan terjemahan yang paling dekat dengan pemikiran Marx
Sebelum berkenalan dengan pemikiran Marx, Lukacs banyak menaruh perhatian pada aliran pemikiran neo-kantian dan metode analisis ilmu sosialnya Dilthey, Simmel dan Max Weber yang sedang menjadi trend pada zamannya. Perkenalan dengan pemikiran Marx dimulai ketika Lukacs melanjutkan studi estetika dan filsafat di Berlin. Komitmen Lukacs pada pemikiran Marxis tidak hanya nampak dalam setiap karya tulisnya, tapi juga keterlibatannya dengan partai komunis di Hungaria.
Gagasan Marxis yang progresif sering menempatkan Lukacs pada posisi kontroversial. Menurut catatan Kolakovski, Lukacs adalah satusatunya pemikir yang mempelajari ajaran fundamental Lenin dan membahasakannya dalam tradisi  filsafat Jerman.
Lukacs mencoba selalu konsisten terhadap pemikiran Marx, karena itu ia tak segan-segan melontarkan kritik tajam terhadap partai komunis yang dianggapnya tidak konsisten dengan prinsif dialektika materialism historisnya Marx. Kritik Lukacs sempat membuat anggota partai marah, sampai dia mengundurkan diri dari partai komunis. Kelak sikap konsistensinya itu membawa Lukacs pada gerakan de-stalinasi, meskipun Lukacs sempat dicurigai sebagai filsuf pendukung Stalin, terutama pada masa awal kepemimpinannya.
Tidak berlebihan kalau melihat pengembaraan intelektual dan pengalaman keterlibatan Lukacs sebagai suatu upaya peneguhan komitmennya pada kemerdekaan manusia. Sikap politik bisa berubah, tapi komitmen Lukacs untuk membebaskan manusia dari keterasingan cukup kosisten.  Paling tidak hal ini dapat dilihat dalam gagasan estetika Lukacs. Dalam kerangka itulah Lukacs memperhatikan peran (seni) sastra sebagai pembebas.
Dalam usaha memperdalam teorinya tentang seni, pada tahun-tahun terakhir hidupnya Lukacs mengakui menemukan banyak kekurangan dalam karya dan tulisannya yang lalu pengalaman pergulatannya dengan penderitaan manusia, perjuangan mempertahankan dan kesadaran rakyat untuk membangun cita-cita demokrasi humanis ikut mematangkan gagasannya tentang estetika. Sampai pada akhir hidupnya, 4 juni 1971, Lukacs memegang keyakinannya bahwa karakter ideology dan eksistensi kehidupan sehari-hari rakyat merupakan bagian yang ikut menentukan struktur estetika baru.
Lukacs beranggapan bahwa seorang seniman besar adalah mereka yang dapat menangkap dan menciptakan kembali totalitas harmonis kehidupan manusia. Maksudnya, seorang seniman besar secara dialekstis harus dapat menyatukan kembali keterpecahan tersebut dalam sebuah totalitas yang kompleks. Dengan begitu, karya fiksinya akan lebih bisa mencerminkan totalitas yang kompleks dari masyarakat itu sendiri dalam bentuk mikrokosmos.
Untuk menciptakan semua itu, karya seni harus melawan alienasi dan keterpecahan yang ada dalam masyarakat kapitalis, sehingga ia membentuk suatu gambaran manusia secara menyeluruh dan sempurna. Seni semacam itu disebutnya sebagai “realisme”, sedangkan karya “realis” menurutnya, adalah karya yang menyajkan serangkaian hubungan antara manusia, alam, dan sejarah yang kompleks dan komprehensif. Kemudian, tugas seorang penulis realis adalah emmperluas kecenderungan dan kekuatan-kekuatan “khas” dalam individu-individu dan tindakan-tindakan yang sadar (Syuropati, 2011:28-29).
Georg Lukacs memandang estetika sastra dalam butir-butir prinsip sebagai berikut. (1) Tugas kesenian (termasuk sastra) adalah menampilkan kenyataan sebagai totalitas. (2) Karya sastra menyajikan yang khas dan yang universal. (3) Karya sastra memiliki kekuatan membongkar kesadaran palsu dalam pola pikir sehari-hari masyarakat. (4) Seorang sastrawan mempunyai tanggung jawab dan karenanya harus terlibat dalam masalah yang sedang dihadapi masyarakatnya; seorang sastrawan, kata Lukacs, hendaknya adalah seorang realis, dan seorang realis hendaknya seorang sosialis, dan sebagai seorang sosialis, sastrawan harus tahu dan terlibat dalam masalah sosial masyarakatnya. (5) Dalam setiap karya sastra, kepedulian sosial menjadi ukuran standar keindahan dan satu-satunya ukuran kebenaran.

APLIKASI TORI MARXIS GEORGE LUKACS PADA PUISI TAUFIK ISMAIL
Sebelum menganalisis puisi karya Taufik Ismail, marilah kita mengenal lebih dekat mengetahui biografinya.
Tentang Taufiq Ismail
Dilahirkan di Bukittinggi dan dibesarkan di Pekalongan, ia tumbuh dalam keluarga guru dan wartawan yang suka membaca. Ia telah bercita-cita menjadi sastrawan sejak masih SMA. Dengan pilihan sendiri, ia menjadi dokter hewan dan ahli peternakan karena ingin memiliki bisnis peternakan guna menafkahi cita-cita kesusastraannya. Ia tamat FKHP-UI Bogor pada 1963 tapi gagal punya usaha ternak yang dulu direncanakannya di sebuah pulau di Selat Malaka.
Semasa kuliah aktif sebagai Ketua Senat Mahasiswa FKHP-UI (1960-1961) dan WaKa Dewan Mahasiswa UI (1961-1962). Di Bogor pernah jadi guru di SKP Pamekar dan SMA Regina Pacis, juga mengajar di IPB. Karena menandatangani Manifesto Kebudayaan, gagal melanjutkan studi manajemen peternakan di Florida (1964) dan dipecat sebagai dosen di Institut Pertanian Bogor. Ia menulis di berbagai media, jadi wartawan, salah seorang pendiri Horison (1966), ikut mendirikan DKJ dan jadi pimpinannya, Pj. Direktur TIM, Rektor LPKJ dan Manajer Hubungan Luar Unilever. Penerima beasiswa AFS International Scholarship, sejak 1958 aktif di AFS Indonesia, menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Bina Antarbudaya, penyelenggara pertukaran pelajar antarbangsa yang selama 41 tahun (sejak 1957) telah mengirim 1700 siswa ke 15 negara dan menerima 1600 siswa asing di sini. Taufiq terpilih menjadi anggota Board of Trustees AFSIS di New York, 1974-1976.
Pengkategoriannya sebagai penyair Angkatan ’66 oleh Hans Bague Jassin merisaukannya, misalnya dia puas diri lantas proses penulisannya macet. Ia menulis buku kumpulan puisi, seperti Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng, Tirani, Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit, Prahara Budaya:Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk, Ketika Kata Ketika Warna, Seulawah-Antologi Sastra Aceh, dan lain-lain.
Banyak puisinya dinyanyikan Himpunan Musik Bimbo, pimpinan Samsudin Hardjakusumah, atau sebaliknya ia menulis lirik buat mereka dalam kerja sama. Iapun menulis lirik buat Chrisye, Yan Antono (dinyanyikan Ahmad Albar) dan Ucok Harahap. Menurutnya kerja sama semacam ini penting agar jangkauan publik puisi lebih luas.
Taufiq sering membaca puisi di depan umum. Di luar negeri, ia telah baca puisi di berbagai festival dan acara sastra di 24 kota Asia, Australia, Amerika, Eropa, dan Afrika sejak 1970. Baginya, puisi baru ‘memperoleh tubuh yang lengkap’ jika setelah ditulis, dibaca di depan orang. Pada April 1993 ia membaca puisi tentang Syekh Yusuf dan Tuan Guru, para pejuang yang dibuang VOC ke Afrika Selatan tiga abad sebelumnya, di 3 tempat di Cape Town (1993), saat apartheid baru dibongkar. Pada Agustus 1994 membaca puisi tentang Laksamana Cheng Ho di masjid kampung kelahiran penjelajah samudra legendaris itu di Yunan, RRC, yang dibacakan juga terjemahan Mandarinnya oleh Chan Maw Yoh.
Bosan dengan kecenderungan puisi Indonesia yang terlalu serius, di awal 1970-an menggarap humor dalam puisinya. Sentuhan humor terasa terutama dalam puisi berkabar atau narasinya. Mungkin dalam hal ini tiada teman baginya di Indonesia. Antologi puisinya berjudul Rendez-Vous diterbitkan di Rusia dalam terjemahan Victor Pogadaev dan dengan ilustrasi oleh Aris Aziz dari Malaysia(Rendez-Vous. Puisi Pilihan Taufiq Ismail. Moskow: Humanitary, 2004.)
Penghargaan
Mendapat Anugerah Seni dari Pemerintah (1970), Cultural Visit Award Pemerintah Australia (1977), South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand (1994), Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994). Dua kali ia menjadi penyair tamu di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1971-1972 dan 1991-1992), lalu pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur (1993) (http://taufiqismail.com/tentang-taufiq-ismail diunduh 15/11/2012.
Kajian Puisi Taufik Ismail
           Puisi dalam Angkatan 66 cenderung menggunakan puisi konvensional. Yakni adanya pembicaraan langsung dan adanya bait yang hanya terdiri atas satu baris. Ada juga bait yang terdiri atas satu baris. Ada juga bait yang terdiri dari dua dan tiga baris yang membubuhkan tanda titik di tengah baris. Hal ini dipergunakan penyair untuk menguraikan cerita yang kait-mengait. Tingkat kepadatan gagasan yang dikemukakan pada setiap bait tidak sama, oleh sebab itu terdapat bait yang terdiri atas tiga baris, dua baris, dan satu baris. Pembicaraan langsung merupakan pengikat narasi, dan juga menjadi inti gagasan dalam renungan yang bersifat filosofis dari penyair.
Karakteristik isi puisi pada Angkatan 66 bertemakan protes sosial. Protes sosial dikemukakan begitu berapi-api. Protes yang dikemukakan dalam Angkatan 66 ditujukan kepada kemunafikkan dan kesewenang-wenangan pemerintahan pada masa Orde Lama. Dalam puisi-puisi protes sosial makna karya sastra sering dibungkus dengan bahasa yang kasar atau berlebih-lebihan, namun demikian karya-karya protes sosial sering pula begitu lembut. Walaupun tujuan yang dikemukakan adalah kritik yang cukup keras namun dibungkus dengan wujud pengucapan bahasa yang lembut dan halus. Sebenarnya kritik yang diberikan dalam puisi protes bertujuan untuk memperbaiki kehidupan.Setiap penyair sadar akan puisinya untuk memperjuangkan keadilan, kebenaran, dan hak-hak azasi manusia meskipun hanya lewat kata-kata.
Berikut ini disajikan sebuah dua puisi karya Taufik Ismail tahun 1966 dan tahun 1998 yang dikaji menurut teori Marxis G. Lukacs.
Puisi I
Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya
“Tadi siang ada yang mati.
Dan yang mengantar banyak sekali
Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah
Yang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!
Sampai bensin juga turun harganya
Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula
Mereka kehausan dalam panas bukan main
Tebakar muka di atas truk terbuka
Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu
Biarlah sepuluh ikat juga
Memang sudah rezeki mereka
Mereka berteriak-teriak kegirangan dan berebutan
Seperti anak-anak kecil
“Hidup tukang rambutan! Hidup tukang rambutan!”
Dan menyoraki saya. Betul bu, menyoraki saya
Dan ada yang turun dari truk, bu
Mengejar dan menyalami saya
“Hidup pak rambutan!” sorak mereka
Saya dipanggul dan diarak-arak sebentar
“Hidup pak rambutan! Sorak mereka
“Terima kasih, pak, terima kasih!
Bapak setuju kami, bukan?
Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara
“Doakan perjuangan kami, pak,”
Mereka naik truk kembali
Masih meneriakkan terima kasih mereka
“Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!”
Saya tersedu, bu. Saya tersedu
Belum pernah seumur hidup
Orang berterima-kasih begitu jujurnya
Pada orang kecil seperti kita
                                    1966
                                                Dari Tirani
Puisi dan Kenyataan
Dalam perspektif Lukacs, Taufik Ismail secara konkret telah menunjukkan tanggung jawab dan keterlibatan sastra dan sastrawan—dalam hal ini, puisi dan penyair – di dalam masyarakat yang sedang memprotes kezaliman Orde Lama, yakni penculikan beberapa aktivis dan mahasiswa oleh aparat negara. Penyair dalam puisi ini menunjukkan pemihakannya kepada rakyat justru ketika negara tidak menaruh simpati kepada penderitaan rakyat. Dalam perspektif Lukacs, pemihakan ini diwujudkan dalam bentuk puisi yang merepresentasikan peristiwa sosial itu secara realistik.
Puisi di atas ditulis saat KAMI/KAPPI menyelenggarakan demontrasi-demontrasi menetang Orde Lama. Jika ditilik sejarahnya dapat dirunut sejarah penciptaan puisi di atas.
Tanggal 10 Januari 1966, bulan puasa, sebuah seminar yang diorganisir KAMI di Fakultas Ekonomi UI yang membahas permasalahan ekonomi negara dan mengkritik kebijakan pemerintah. Sebuah apel besar berlangsung di halaman kampus Fakultas Kedokteran UI, Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edi, idola masyarakat yang sukses melumpuhkan gerakan PKI, diundang KAMI dan berbicara di depan massa.
Lewat jam 4 sore Chairul Shaleh muncul, disambut dengan teriakan-teriakan berkepanjangan. Rensponnya tidak memuaskan massa. Cosmos Batubara berkata: “Mahasiswa sekarang tidak bisa kuliah, sebab ongkos bus tidak terbayar…. Sebelum harga turun kita akan mogok kuliah.” Seruan mogok kuliah ini mendapat sahutan lantang massa. Untuk pertama kalinya dalam Rezim Orde Lama mamasiswa dan pelajar menunjukkan sikap terang-terangan menentang pemerintah secara massal, kemudian berturut-turut melancarkan demontrasi besar-besaran yang makin tinggi intensitasnya (Ismail,1990:xx).
Tiga tuntutan mereka adalah 1) bukarkan PKI, 2) Retool Kabinet, dan 3) Turunkan harga. Dengan istilah retool dimaksudkan bongkar-pasang atau penggantian personalia kabinet. Tuga tuntutan Rakyat yang disingkat Tritura ini, tidak diacuhkan oleh Presiden Soekarno  (Ismail,1990:xx).
Tanggal 24 Febrari 1966. Massa KAMI dan KAPPI kembali berdemontrasi ke Istana. Mereka menghadang lalu lintas, mengempiskan ban-ban mobil sehingga seluruh jalan menuju Istana tersumbat total oleh kendaraan-kendaraan yang berhenti malang melintang dengan tujuan mencegah para menteri menghadiri upacara pelantikan kabinet. Usaha ini gagal, karena mereka naik helikopter. Para demontran menengadah ke langit melihat helikopter terbang dan mendarat di pekarangan Istana. Ribuan demonstran gelisah dan marah. Mereka bergerak terus. Terdengar berondongan senjata api. Tercium bau asap mesiu. Kemudian mereka berkerumun. Ada yang terkapar berdarah-darah. Mereka tergesa-gesa mengusung korban. Kemudian turunlah sunyi. Tercatat hari ini dua anak muda tewas ditembak dan 11 luka-luka.
Tanggal 25 Februari 1966. Jenazah Djubaidah anggota KAPPI (ssiwa SMA kelas I, umur 17 tahun, tinggal di Jatinegara) yang ditembak kemarin, hilang di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Subroto. Diduga keras diculik paksa oleh Resimen Tjakrabirawa dab dikuburkan secara rahasia di Bogor. Ini untuk mencegah acara pemakaman yang pastilah akan mendatangkan massa besar yang makin meluap berang. Tapi tak dapat lakukan itu pada jenazah Arief Rahman Hakim (Ismail,1990:xxiii).
Arief Rahman Hakim, 23 tahun, mahasiswa Fakultas Kedokteran UI tingkat IV yang meninggal ditembak di depan Istana kemarin dimakamkan hari ini. Jenzah disemayamkan di Aula UI, tempat shalat Jumat diselenggarakan sebelum pemakaman. Nurcholish Madjid, mahasiswa IAIN, dalam khotbahnya menyerukan agar “teladan yang syahid ini membuat kita makin teguh melanjutkan perjuangan”. Massa pelajar, pemuda, mahasiswa dan rakyat yang mengantar jenazah berkilometer-kilometer panjangnya dari Salemba 4 ke kuburan Blok P Kebayoran Baru.  Cuaca terik dan lembab berubah jadi teduh dan mendung. Pagar manusia berdiri sepanjang tepi arakan tercenung. Banyak yang mengusap mata, tak sedikit yang tersedu-sedan. Sehabis penguburan gerimis turun memerciki bumi  (Ismail,1990:xxiii).
Pada bagian lain Taufik Ismail menyatakan, “Saya menuliskan puisi-puisi itu di tumpukan kertas yang dijepit rapi pada map berwarna merah coklat. Kemana-mana saya bawa map itu dalam sebuah ransel tentara yang berwarna hijau kumal, disandang di bahu. Dapat dikatakan hampir setiap hari saya mengikuti gerakan KAMI dan KAPPI pada masa itu. Sambil jalan, bila ada yang perlu dicatat, saya tuliskan pada kertas itu.” (Ismail, 1998:xxv-xxvi). Lihatlah baris pertama sampai sembilan, betapa apa yang dialami oleh penulis, dituangkan dalam bentuk puisi.
“Tadi siang ada yang mati.
Dan yang mengantar banyak sekali
Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah
Yang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!
Sampai bensin juga turun harganya
Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula
Mereka kehausan dalam panas bukan main
Tebakar muka di atas truk terbuka
Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu
Penggunaan kata “Hidup pak rambutan!” merupakan ralitas sosial yang menggambarkan kritik atas penindasan terhadap rakyat. Menggambarkan protes atas penguasaan kaum penguasa terhadap rakyat.
“Hidup pak rambutan! Sorak mereka
“Terima kasih, pak, terima kasih!
Bapak setuju kami, bukan?
Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara
“Doakan perjuangan kami, pak,”
Realitas sosial dalam memperjuakan kelas selalu ada keterkaitan rakyat sebagai pihak yang diperjuangkan. Puisi Taufik Ismail di atas “Seorang Tukang Rambutan Pada Istrinya” menggambarkan sebuah perjuangan kelas oleh mahasiswa dan rakyat merasa berterima kasih atas perjuangan yang berhasil, walaupun memakan korban.
Saya tersedu, bu. Saya tersedu
Belum pernah seumur hidup
Orang berterima-kasih begitu jujurnya
Pada orang kecil seperti kita
Dlam pandangan Lukacs, seorang sastrawan mempunyai tanggung jawab dan karenanya harus terlibat dalam masalah yang sedang dihadapi masyarakatnya; seorang sastrawan,hendaknya adalah seorang realis, dan seorang realis hendaknya seorang sosialis, dan sebagai seorang sosialis, sastrawan harus tahu dan terlibat dalam masalah sosial masyarakatnya. Taufik Ismail, semasa demotrasi menentang Orde Lama selalu melibatkan diri dalam proses demonstrasi. Mereka selalu mencatat apa yang dilihat dan didengarnya.
“Tadi siang ada yang mati.
Dan yang mengantar banyak sekali
Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah
Penggalan puisi di atas, inilah bait yang menggabarkan meninggalnya Arief Rahman Hakim, 23 tahun, mahasiswa Fakultas Kedokteran UI tingkat IV yang meninggal ditembak di depan Istana kemarin dimakamkan hari ini. Massa pelajar, pemuda, mahasiswa dan rakyat yang mengantar jenazah berkilometer-kilometer panjangnya dari Salemba 4 ke kuburan Blok P Kebayoran Baru. Dan lihatlah catatn Taufik, “Saya menuliskan puisi-puisi itu di tumpukan kertas yang dijepit rapi pada map berwarna merah coklat. Kemana-mana saya bawa map itu dalam sebuah ransel tentara yang berwarna hijau kumal, disandang di bahu.”
Lukacs berpandangan “dalam setiap karya sastra, kepedulian sosial menjadi ukuran standar keindahan dan satu-satunya ukuran kebenaran. Demikian juga halnya Taufik Ismail memandang bahwa rakyat kecil perlu dibela. Seperti pada penggalan puisi di atas. Rakyat kecil disimbulkan sebagai seorang tukang rambutan. Betapa sebuah perjuangan oleh mahasiswa didukung oleh rakyat kecil “seorang tukang rambutan”.
“Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!”
Saya tersedu, bu. Saya tersedu
Belum pernah seumur hidup
Orang berterima-kasih begitu jujurnya
Pada orang kecil seperti kita
Dengan melihat kutipan puisi di atas, sastra tidak hanya mencerminkan ‘realitas’ tetapi lebih dari itu memberikan kepada kita “sebuah refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik” yang mungkin melampaui pemahaman umum. Sebuah karya sastra tidak hanya mencerminkan fenomena idividual secara tertutup melainkan lebih merupakan sebuah ‘proses yang hidup’. Sastra tidak mencerminkan realitas sebagai semacam fotografi, melainkan lebih sebagai suatu bentuk khusus yang mencerminkan realitas. Dengan demikian, sastra dapat mencerminkan realitas secara jujur dan objektif dan dapat juga mencerminkan kesan realitas subjektif (Selden, 1991:27). Taufik Ismail tidak hanya bercerita tentang “tukang rambutan kepada istrinya” tetapi lebih dari itu, yaitu merupakan perjuangan atas penindasan oleh penguasa Orde Lama yang semakin jauh dari idealisme bangsa Indonesia, yaitu kembalinya bangsa Indonesia ke Pancasila dan Undang-undang Dasar Negera Republik Indonesia tahun 1945.
Puisi II
Untuk menegaskan bahwa puisi Taufik Ismail dapat dinalisis melalui teori kritik Marxis, saya mengambil puisi yang kedua. Puisi berikut diambil dari masa penulisan yang jauh berbeda. Selisih tiga puluh tahun lebih. Namun, kelihatannya Taufik Ismail masih memiliki sikap yang sama yaitu membela yang lemah.
Ketika Sebagai Kakek di Tahun 2040,
Kau Menjawab Pertanyaan Cucumu
Cucu kau tahu, kau menginap di DPR bulan Mei itu
Bersma beberapa ribu kawanmu
Marah, serak berteriak dan mengepalkan tinju
Bersama-sama membuka sejarah halaman satu
Lalu mengguratkan baris pertama bab yang baru
Seraya mencat spanduk dengan teks yang seru
Terpicu oleh kawan-kawan yang ditembus peluru
Dikejar masuk kampus, terguling di tanah berdebu
Dihajar dusta dan fakta dalam berita selalu
Sampai kini sejak kau lahir dahulu
Inilah pengakuan generasi kami, katamu
Hasil penataan dan penataran yang kaku
Pandangan berbeda tak pernah diaku
Daun-daun hijau dan langit biru, katamu
Daun-daun kuning dan langit kuning, kata orang-orang itu
Kekayaan alam untuk bangsaku, katamu
Kekayaan alam untuk nafsuku, kata orang-orang itu
Karena tak mau nasib rakyat selalu jadi mata dadu
Yang diguncang-guncang genggaman orang-orang itu
Dan nomor yang keluar telah ditentukan dahulu
Maka kami bergeraklah kini, katamu
Berjalan kaki, berdiri di atap bis yang melaju
Kemeja basah keringat, ujian semester lupakan dahulu
Memasang ikat kepala, mengibar-ngibarkan benderamu
Tanpa ada pimpinan di puncak struktur satu
Tanpa dukungan jelas dari yang memegang bedil itu
Sudahlah, ayo  kita bergerak saja dulu
Kita percayakan nasib pada Yang Satu Itu.
1998
Dari “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, seratus puisi Taufiq Ismail, halaman 52)
Puisi-puisi Taufik Ismail adalah puisi hati nurani. Mewakili pandangan orang banyak tentang Orde Baru. Imaji yang suram berupa sejumlah perilaku negatif seperti pragmatisme, hutang Indonesia, korupsi, suap, keserakahan penguasa, indoktrinasi, kecurangan pemilu, dan pengingkaran Undang-undang Dasar yang merupakan kegelisahan kolektif.
Taufik Ismail memusatkan perhatian tentang sejarah bangsa ini tidak diragukan lagi. Jika pada Tirani dan Benteng ditulis oleh pelaku tanpa jarak dengan sejarah, sedangkan pada MAJOI ditulis oleh saksi sejarah yang melihat tapi tidak berpartisipasi di dalamnya. Fokus Tirani dan Benteng adalah politik, sedangkan MAJOI adalah ekonomi.
Lupa kepaa sejarah itu bisa diduga akan terjadi lagi pada generasi di masa depan yang tidak mengalami sendiri Reformasi. Pada waktu itu tentu penyair seperti Taufik Ismail sudah tidak ada lagi. Rupanya penyair kita ini sudah melihat tanda-tanda itu. Karenanya ia menulis “Ketika Sebagai Kakek di Tahun 2040, Kau Menjawab Pertanyaan Cucumu”:
Cucu kau tahu, kau menginap di DPR bulan Mei itu
Bersma beberapa ribu kawanmu
Marah, serak berteriak dan mengepalkan tinju
Bersama-sama membuka sejarah halaman satu
Lalu mengguratkan baris pertama bab yang baru
Seraya mencat spanduk dengan teks yang seru
Terpicu oleh kawan-kawan yang ditembus peluru
Demikianlah saling berhubungan antara penyair dan sejarah. Tema dan topik yang dipilih penyair dipengaruhi oleh sejarah, penyair jadi pencatat sejarah.
Lukacs menggunakan istilah “refleksi”. Sastra merupakan pencerminan realitas, tidak dengan melukiskan wajah hanya tampak pada permukaan, tetapi dengan memberikan sebuah pencerminan realitas yang lebih benar, lebih lengkap, lebih hidup dan lebih dinamik. Sastra tidak hanya mencerminkan fenomena individual secara terasing, tetapi “proses hidup yang penuh”.
Lukacs menuntut prinsip tatanan dan struktur yang pokok karena tradisi Marxis meminjam pandangan “dialektis” sejarah dari Hegel. Berpikir dialektis adalah berpikir kritis dengan menempatkan yang lama dengan kesatuan yang baru[8]. Dengan kerangka dialektika Lukacs mampu menghindari kegagalan yang dialami oleh para pemikir neo-kantian yang meletakkan perbedaan antara ilmu pengetahuan dengan kenyataan.
Berpikir dialektis dtandai dengan kemampuan menyatukan antara yang lampau, sekarang dengan masa yang akan datang. Berpikir dialektis tidak hanya berhenti pada pemahaman realitas sebagai datum atau yang sudah ditentukan, melainkan sebagai realitas aktif yang terus mencapai kepenuhannya. Dialektika memberi sumbangan yang sangat berati bagi pemikiran Lukacs dalam memahami kemampuan manusia melepaskan diri dari “kodrat kedua” yang diciptakan oleh tatanan kapitalisme. Realitas sosial di satu pihak merupakan produk kesadaran manusia mencapai kepenuhannya, tetapi di lain pihak realitas sosial yang berkembang dalam masarakat kapitalis menjadi suatu produk yang mengasingkan manusia. Lukacs dengan kerangka dialektikanya ingin memahami manusia sebagai subjek atas realitas sosial. Menurut Lukacs, manusia menjadi subjek bila ia mampu bersatu dan mengidentifikasikan dunia di luarnya.
 Bila dianalisis berdasarkan teori Marxis, puisi “Ketika Sebagai Kakek di Tahun 2040, Kau Menjawab Pertanyaan Cucumu” menunjukkan keterkaitan antara penulis dengan sejarahnya, termasuk refleksi ke masa depan.  Puisi ini ditulis pada tahun 1998, ketika terjadi peristiwa demontrasi besar-besaran menjelang runtuhnya Orde Baru.
Cucu kau tahu, kau menginap di DPR bulan Mei itu
Bersma beberapa ribu kawanmu
Marah, serak berteriak dan mengepalkan tinju
Bersama-sama membuka sejarah halaman satu
Lalu mengguratkan baris pertama bab yang baru
Bila kita melihat lebih dalam lagi, latar belakang puisi “Ketika Sebagai Kakek di Tahun 2040, Kau Menjawab Pertanyaan Cucumu”  sebagai totalitas realitas yang tidak hanya kata-kata tertulis pada baris-baris puisi. Penulisan puisi ini dibuat dengan mendasarkan pada momen-momen penting dalam gerakan mahasiswa tahun 1998 yaitu : tanggal Sidang Umum MPR 1-11 Maret 1998, Insiden berdarah Universitas Trisakti 12 Mei dan mundurnya Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998. Pada saat itu mahasiswa menduduki Gedung DPR beberapa hari untuk menuntut mundurnya Presiden karena berbagai krisis melanda Indonesia dan berbagai kebobrokan pemerintah,  Perhatikan baris-baris
Cucu kau tahu, kau menginap di DPR bulan Mei itu
Bersma beberapa ribu kawanmu
Marah, serak berteriak dan mengepalkan tinju
Bersama-sama membuka sejarah halaman satu
Lalu mengguratkan baris pertama bab yang baru
 /Bersama-sama membuka sejarah halaman satu/Lalu mengguratkan baris pertama bab yang baru/ baris-baris ini mengungkapkan telah terjadi perubahan sejarah. Membuka halaman satu lalu mengguratkan baris pertama bab yang baru, Orde Baru tumbang dan digantikan oleh Orde Reformasi.
Bila kita lihat pada sejarah tumbangnya Orde Baru, kita akan mengetahui bahwa runtuhnya Orde Baru karena beberapa hal, di antaranya adalah krisis ekonomi, krisis politik, dan faktor sosial.
Secara ekonomi, krisis ekonomi yang melanda Asia, yang dimulai di Thailand menghantam Indonesia. Akibat krisis ini organisasi perbankan kita menjadi berantakan yang sampai sekarang belum dapat di konsolidasi kembali. Nilai rupiah terhadap dollar Amerika tetap di dalam tingkat yang amat rendah. Kurs dolar dari Rp 1.500 hingga jatu ke angka Rp 18.000,-, sehingga harga-harga keperluan umum, terutama sembako, dalam hitungan rupiah tetap tinggi. Krisis yang melanda Indonesia juga disebabkan karena praktek KKN. Istilah KKN (Kolusi, Korupsi, Nepotisme) adalah istilah yang paling populer yang disuarakan oleh kaum reformis untuk segera diberantas. Kolusi diantara penguasa pada masa ORBA dengan para pengusaha hanya menguntungkan kedua belah pihak. Sedangkan rakyat hanya menerima akibat buruk dari praktek tersebut. Demikian juga, korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara telah menguras sumber ekonomi negara sehingga uang yang seharusnya digunakan untuk kemakmuran rakyat tidak sampai kepada sasarannya. Adapun nepotisme adalah praktek penguasa yang lebih mementingkan anggota keluarga atau golongan untuk memperoleh jabatan serta kesempatan-kesempatan dalam dunia usaha. Penderitaan rakyat akibat krisis ekonomi dibaca dengan baik oleh kelompok intelektual terutama mahasiswa.
Kemunafikan yang berlaku semasa Orde baru, munculnya KKN di mana-mana, kekayaan alam dikeruk untuk kepentingan kelompoknya. Di bidang politik, Pemilu hanya sebagai formalitas yang semuanya sudah dibuat skenario. Bagi yang memiliki perbedaan pendapat, kritis atau mengkritisi kebijakan pemerintah, akan menanngung resiko berat. Bahkan masa itu muncul istilah kuningisasi.
Inilah pengakuan generasi kami, katamu
Hasil penataan dan penataran yang kaku
Pandangan berbeda tak pernah diaku
Daun-daun hijau dan langit biru, katamu
Daun-daun kuning dan langit kuning, kata orang-orang itu
Kekayaan alam untuk bangsaku, katamu
Kekayaan alam untuk nafsuku, kata orang-orang itu
Karena tak mau nasib rakyat selalu jadi mata dadu
Yang diguncang-guncang genggaman orang-orang itu
Dan nomor yang keluar telah ditentukan dahulu
Puisi-puisi Taufik Ismail adalah puisi hati nurani. Mewakili pandangan orang banyak tentang Orde Baru. Imaji yang suram berupa sejumlah perilaku negatif seperti pragmatisme, hutang Indonesia, korupsi, suap, keserakahan penguasa, indoktrinasi, kecurangan pemilu, dan pengingkaran Undang-undang Dasar yang merupakan kegelisahan kolektif.
Demikianlah sedikit tinjauan kritik sastra Marxis pada puisi Taufik Ismail. Sebagai seorang sastrawan mempunyai tanggung jawab dan karenanya harus terlibat dalam masalah yang sedang dihadapi masyarakatnya; seorang sastrawan, kata Lukacs, hendaknya adalah seorang realis, dan seorang realis hendaknya seorang sosialis, dan sebagai seorang sosialis, sastrawan harus tahu dan terlibat dalam masalah sosial masyarakatnya. Dalam setiap karya sastra, kepedulian sosial menjadi ukuran standar keindahan dan satu-satunya ukuran kebenaran.
Penutup
Sebagaimana pandangan Lukacs, bahwa sastra, termasuk di dalamnya puisi estetika sastra dalam butir-butir prinsip (1) Tugas kesenian (termasuk sastra) adalah menampilkan kenyataan sebagai totalitas. (2) Karya sastra memiliki kekuatan membongkar kesadaran palsu dalam pola pikir sehari-hari masyarakat. (3) Seorang sastrawan mempunyai tanggung jawab dan karenanya harus terlibat dalam masalah yang sedang dihadapi masyarakatnya; seorang sastrawan,hendaknya adalah seorang realis, dan seorang realis hendaknya seorang sosialis, dan sebagai seorang sosialis, sastrawan harus tahu dan terlibat dalam masalah sosial masyarakatnya.
Puisi Taufik Ismail “Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya” “dan Ketika Sebagai Kakek di Tahun 2040, Kau Menjawab Pertanyaan Cucumu” dapat dianalisis melalui teori Marxis Lukacs yang menggambarkan perjuangan/ perlawanan kelas.
-o0o-

DAFTAR PUSTAKA

Ismail, Taufi. Tirani dan Benteng:  dua kumpulan puisi.Yayasan Ananda. Jakarta.1993
Manshur, Fadlil Munawwar. Teori Sastra Marxis dan Aplikasinya pada Penelitian Karya Sastra Arab Modern. BAHASA DAN SENI, Tahun 40, Nomor 1, Februari 2012. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Ratna, Nyo man Kutha. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Pustaka Pelajar. Jakarta. 2010.
Selden, Raman. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. 1985.
Syuropati, Mohammad A. 5 Teori Sastra Kontemporer & 13 Tokohnya. In AzNa Books. Bangunapan Bantul. 2011.
Waluyo, Herman. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.

 Sumber : Bambang Santoso

0 Response to "ANALISIS PUISI TAUFIK ISMAIL BERDASARKAN TEORI MARXIS GEORGE LUKACS"

Post a Comment