Makalah Tentang Analisis Puisi dan Intertekstual

Analisis Puisi dan Intertekstual


A. PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Puisi adalah jenis karangan yang dalam penyajiannya sangat mengutamakan kegayaan kata. Kata yang bergaya merupakan salah satu unsur terpenting yang selalu dipikirkan penyair dalam mengungkapkan ide atau perasaannya. Puisi dapat juga diartikan sebagai karya sastra yang dibuat sebagai hasil penghayatan atau refleksi seseorang terhadap kehidupannya. Melalui puisi, seseorang ingin mencurahkan segala isi hatinya. Isi hati tersebut tidak hanya berupa perasaan, tetapi juga pikiran, sikap, dan harapan penulis terhadap objek yang sedang dihayatinya.
Dalam memahami sajak / puisi diperlukan analisis-analisis tertentu, seperti dalam makalah ini yang akan menganalisis “Kumpulan sajak Chairil Anwar (Aku ini binatang jalang)”  yang menggunakan analisis  struktural dan semiotik. Analisis struktural dalam gaya kepuitisan dan yang lebih penting yaitu analisis tentang adanya vitalisme (semangat perjuangan) yang terdapat pada “Kumpulan sajak-sajak Chairil Anwar (Aku ini binatang jalang)” melalui analisis semiotik. Analisis intertekstual antara sajak “Krawang-Bekasi” karya Chairil Anwa dan sajak “The Young Dead Soldiers Do Not Speak”, karya Archibald MacLeish.
Vitalisme yang ada pada diri Chairil Anwar yaitu semangat atau spirit perjuangan dan kejuangan dalam mencapai kemerdekaan bangsa. Chairil Anwar (Aku Ini Binatang Jalang, 1986) yang menutup buku koleksi lengkap puisi Chairil, Chairil Anwar tampil lebih menonjol sebagai sosok yang penuh semangat hidup dan sikap kepahlawana. Bahkan sebenarnya Chairil adalah salah seorang penyair kita yang memperhatikan kepentingan sosial dan politik bangsa.
Chairil memang penyair besar yang menginspirasi dan mengapresiasi upaya manusia meraih kemerdekaan, termasuk perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan. Hal ini, antara lain tercermin dari sajaknya bertajuk: “Krawang-Bekasi”, yang disadurnya dari sajak “The Young Dead Soldiers Do Not Speak”, karya Archibald MacLeish (1948). Dia juga menulis sajak “Persetujuan dengan Bung Karno”, yang merefleksikan dukungannya pada Bung Karno untuk terus mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945. Bahkan sajaknya yang berjudul “Aku” dan “Diponegoro” juga banyak diapresiasi orang sebagai sajak perjuangan. Kata “Aku binatang jalang” dalam sajak “Aku”, diapresiasi sebagai dorongan kata hati rakyat Indonesia untuk bebas merdeka. Sajak “Catetan TH.1946” juga merupakan karya Chairil Anwar yang berkaitan pada masa Kemerdekaan Indonesia.
Pemakalah berharap besar dalam adanya analisis struktural-semiotik “Kumpulan sajak Chairil Anwar (Aku ini binatang jalang)” ini mampu menjadi penawar bagi pembaca yang sempat teracuni oleh sajian sastra yang ada, sehingga para penikmat puisi senja ini tidak lagi keracunan terutama dalam memakai karya-karya Chairil Anwar, namun mengerti dan memahami bahwa karya sastra memang tidak ada yang berubah secara menyeluruh, hanya saja mengelupas dari kulit aslinya, dan membuat kulit yang baru, dimana kulit baru itu suatu saat nanti juga akan mengalami hal serupa, terkelupas oleh kulit-kulit barunya yang lain namun sesungguhnya tetap saja berdaging sama.
1. Rumusan masalah
Dalam analisis “Kumpulan sajak Chairil Anwar (Aku ini binatang jalang)” ini menggunakan analisis struktural dan semiotik. Analisis struktural dalam gaya kepuitisan yang meliputi pemilihan kata atau diksi, bahasa kiasan, citraan, dan sarana retorika. Analisis semiotik yang menganalisis pada vitalisme (semangat perjuangan) yang terdapat dalam “Kumpulan sajak Chairil Anwar (Aku ini binatang jalang), meliputi matriks atau kata kunci, heuristik yang dianalisis pada vitalisme Chairil Anwar, hermeneutik dalam perjuangan Chairil Anwar dan hubungan intertekstual dalam sajak “The Young Dead Soldiers Do Not Speak” karya  Archibald MacLeish dengan sajak “Krawang-Bekasi” karya Chairil Anwar.
1. Tujuan penulisan
Dalam makalah ini bertujuan untuk menganalisis sajak-sajak Chairil Anwar dengan menggunakan analisis struktural dan semiotik. Analisis struktural untuk mengetahui gaya kepuitisan yang terdapat pada “Kumpulan sajak-sajak Chairl Anwar (Aku ini binatang jalang)” dengan mengupas sajak-sajak seperti sajak “Krawang-Bekasi”, “Aku”, “Persetujuan dengan Bung Karno”, “Catetan TH. 1946”. Analisis semiotik untuk mengetahui adanya vitalisme (semangat perjuangan) yang terdapat  pada “Kumpulan sajak-sajak Chairil Anwar (Aku ini binatang jalang)” seperti sajak “Aku”, “Persetujuan dengan Bung Karno”, “Diponegoro”, dan “Krawang-Bekasi”, selain itu juga untuk mengetahui hubungan intertekstual yang terdapat pada sajak “The Young Dead Soldiers Do Not Speak” karya  Archibald MacLeish dengan sajak “Krawang-Bekasi” karya Chairil Anwar.
1. Manfaat penulisan
Dapat memberikan pengetahuan bagaimana analisis struktural-semiotik dalam “Kumpulan sajak Chairil Anwar (Aku ini binatang jalang). Dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca tentang adanya vitalisme atau semangat perjuangan yang terdapat dalam diri Chairil Anwar. Dapat memberikan pengalaman kepada para pembaca agar lebih mengerti tentang karya sastra dan tidak teracuni dengan karya sastra tersebut. Dapat memberikan motivasi kepada pembaca untuk lebih mengenal karya sastra.
B. TEORI DAN METODE
1. Analisis struktural
Strukturalisme pada dasarnya merupakan cara berpikir tentang dunia terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur dalam pandangan ini karya sastra diasumsikan sebagai fenomena yang memiliki struktur yang saling terkait satu sama lain. Struktur tersebut memiliki bagian yang kompleks, sehingga pemaknaan harus diarahkan ke dalam hubungan antar unsur secara keseluruhan. Keseluruhan akan lebih berarti dibandingkan bagian atau fragmen struktur.
Dalam analisis struktural ini menggunakan gaya kepuitisan yang meliputi plihan kata atau diksi, bahasa kiasan, citraan, dan sarana retorika.
Diksi adalah pilihan atau pemilihan kata yang biasanya diusahakan oleh penyair dengan secermat mungkin. Penyair mencoba menyeleksi kata-kata baik kata yang bermakna denotatif maupun konotatif sehingga kata-kata yanag dipakainya benar-benar mendukung maksud puisinya.
Bahasa kiasan yaitu karya sastra sebagai salah satu bentuk kreasi seni yang menggunakan bahasa sebagai wahana penuturnya, juga lazim menggunakan bahasa kias sebagai salah satu bentuk ungkapan dalam pemaparannya, namun bahasa kias dalam karya sastra ini berbeda dengan penggunaan bahasa kias yang sering kita pergunakan dalam kehidupan sehari-hari, terlebih dalam bentuk puisi merupakan bahasa kias yang bersifat lebih personal.
Citraan yakni digunakan untuk memberi gambaran yang jelas, untuk menimbulkan suasana yang khusus, untuk membuat (lebih) hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan dan juga untuk menarik perhatian, penyair juga menggunakan gambaran-gambaran angan (pikiran), disamping alat kepuitisan yang lain.
Sarana retorika adalah sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran. Disebut muslihat pikiran karena sarana ini memanipulasi bahasa untuk membuat orang berpikir.
1. Analisis semiotik
Anaisis semiotik adalah analisis sajak yang bertujuan memahami makna sajak. Menganlisis sajak adalah usaha menangkap dan memberi makna kepada teks sajak. Dalam analisis semiotik ini menggunakan analisis matrik atau kata kunci yang terdapat dalam sajak, analisis heurustik dan hermeneutik atau penafsiran interprestasi / pemahaman teks yang akan di analisis tentang vitalisme (semangat perjuangan) yang terdapat pada “Kumpulan sajak-sajak Chairil Anwar (Aku ini binatang jalang)”.
Vitalisme itu sendiri merupakan konsep semangat perjuangan yang ada pada diri Chairil Anwar. Vitalisme itulah yang akan membuat setiap seniman menjadi para perintis zaman. Dalam analisis semiotik ini juga menganalisis hubungan intertekstual. Kajian intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (lengkapnya: teks kesastraan), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu. Misalnya, untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, dan gaya bahasa di antara teks-teks yang dikaji. Secara lebih khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya dan pada karya yang muncul kemudian. Hubungan intertekstual ini terdapat pada “The Young Dead Soldiers Do Not Speak” karya  Archibald MacLeish dengan sajak “Krawang-Bekasi” karya Chairil Anwar.
C. PEMBAHASAN
1. Analisis struktural
2. Diksi atau pemilihan kata
Diksi atau pemilihan kata yang digunakan dalam sajak “Krawang-Bekasi” karya Chairil Anwar yakni:
KRAWANG-BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garsi batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
Pilihan kata yang digunakan oleh Sang Penyair pada karya diatas “Krawang-Bekasi” sangat jelas, lugas, juga penuh dengan ketegasan atau keterus terangan dari Sang Penyair. “Kami yang terbaring antara Krawang-Bekasi”, “Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi”. Pada kata “terbaring”mempunyai makna denotasi tidur terlentang, tetapi Sang Penyair menggunakan kata “Terbaring” yang mempunyai makna konotasi meninggal dunia,atau kematian. Akan tetapi kematian tersebut punya makna yang lebih mulia yaitu gugur sebagai pejuang. Hal itu dipertegas dengan pilihan kata pada kalimat berikutnya : “Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi” yang mempunyai makna sudah gugur di medan pertmpuran.
Diksi atau pemilihan kata yang digunakan dalam sajak “Aku” karya Chairil Anwar yaitu:
AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Diksi atau pilihan kata yang digunakan oleh penyair Chairil Anwar ini sangat terlihat pada kemantapan dan semangat (vitalisme) yang menunjukkan ketegasan seperti: ‘ku mau, tak perlu sedan itu, aku tetap meradang, aku akan akan lebih tidak peduli, dan aku mau hidup seribu tahun lagi; juga ditandai oleh bunyi vokal yang berat: a dan u yang dominan. Pernyataan diri sebagai binatang jalang adalah kejujuran yang besar, berani melihat diri sendiri dari segi buruknya. Efeknya membuat orang tidak sombong terhadap kehebatan diri sendiri sebab selain orang mempunyai kehebatan juga ada cacatnya, ada segi jeleknya dalam dirinya.
1. Bahasa kiasan
Bahasa kiasan yang digunakan dalam “Kumpulan sajak Chairil Anwar (Aku ini binatang jalang)” yaitu:
1)   Personifikasi
Personifikasi adalah majas kiasan yang menggambarkan benda-benda mati seolaholah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Personifikasi (penginsanan) merupakan suatu corak khusus dari metafora, yang mengiaskan benda-benda mati bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia. Personifikasi terdapat dalam sajak “Krawang-Bekasi”, yaitu:
KRAWANG-BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garsi batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
Personifikasi dalam sajak “Persetujuan dengan Bung Karno” terlihat pada “Kami sekarang mayat, Berikan kami arti” disini terlihat makna seakan-akan mayat yang secara sifatnya tidak dapat birbicara,tetapi oleh Sang Penyair “Mayat” tersebut dapat berbicara seperti manusia hidup dan berpesan “Berikan kami arti” dan seterusnya.
2)   Metafora
Metafora ini bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata perbandingan, seperti gaya, laksana, seperti dan sebagainya. Metafora itu melihat sesuatu dengan perantara benda yang lain (Becker, 1978:317). Metafora yang terdapat dalam sajak “Persetujuan dengan Bung Karno” yaitu:
PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO
Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
Dalam sajak “Persetujuan dengan Bung Karno”  Metafora itu terlihat pada “Aku sekarang api aku sekarang laut”, disini Sang Penyair mengibaratkan dirinya seperti laut dan api, mempunyai sifat-sifat seperti api yang selalu membakar dan panas. Menpunyai sifat-sifat seperti laut yang selalu bergelombang, luas, tempat bermuaranya dan menampung semua sungai yang mengalir kearahnya. Artinya tempat menampung semua pendapat dari semua lapisan rakyatnya. Atau selalu bergerak dan bergelombang, artinya selalu bersemangat bak laut yang bergelombang.
3)   Alegori
Alegori adalah majas perbandingan yang memperlihatkan suatu perbandingan yang utuh.
Alegori dalam sajak “Persetujuan dengan Bung Karno” terlihat pada:
. . .
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh”
Kiasan yang digunakan diatas adalah seperti api dan laut dan senantiasa berjalan beriringan dengan Sang Pemimpinnya menjadi satu urat dan satu zat,sesuatu yang tak terpisahkan sehingga menggunakan kendaraan kapal-kapal untuk sampai pada tujuan yang sama.
4)   Metafora-Simil (e)
Bila simile seakan perbandingan yang ragu, maka metafora adalah penyamaan yang tegas. Bila simile berpola A seperti B, maka metafora berpola A adalah Sesunguhnya metafora itu lebih luas pembahasannya. Terlalu sempit tempat untuk metafora kalau ia hanya dibahas sebagai sebuah majas atau gaya bahasa. Metafora menuntut tempat istimewa dalam pembahasan Bahasa itu sendiri, secara luas. Metafora – dalam puisi – pun berhak untuk diberi perhatian lebih untuk digarap secara amat serius.
Metafora-Simil (e) dalam sajak “Aku” karya Chairil Anwar, yaitu:
AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
a)    Ada bait :
. . .
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
aku tetap meradang menerjang
. . .
“Aku” ini (adalah) “binatang jalang”. Metafora ini dihadirkan Chairil setelah dalam dua bait sebelumnya dia jelaskan apa yang ia tekadkan. Metafora itu mempertegas dan sekaligus dipertegas oleh kehadiran dua bait itu: Kalau sampai waktuku / kumau tak seorang kan merayu / Tidak juga kau // Tak perlu sedu sedan itu.
b)   Ada bait selanjutnya masih merupakan bagian dari bangunan metafora “Aku” Chairil (adalah atau sebagai) “binatang jalang” :
Luka dan bisa (a)kan (a)ku (karena aku adalah binatang yang jalang) -bawa berlari/ Berlari /  Hingga hilang pedih peri
Lebih dari sebagai majas, metafora dalam sajak ini adalah bangunan utama, yang mengukuhkan tegak berdirinya sajak. Tenaga sajak ini akan lembek kalau Chairil memilih menggunakan majas simile: Aku ini seperti binatang jalang.
5)   Sinekdoki pars pro toto
Sinekdoki pars pro toto adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan. Sinekdoki pars pro toto dalam sajak “Catetan TH. 1946” karya Chairil Anwar, yaitu:
CATETAN TH. 1946
Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai,
Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut,
Dan suara yang kucintai ‘kan berhenti membelai.
Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut.
Kita – anjing diburu – hanya melihat sebagian dari sandiwara
sekarang
Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang
Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu
Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat.
Dan kita nanti tiada sawan lagi diburu
Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan berdebu,
Kita memburu arti atau diserahkan pada anak lahir sempat,
Karena itu jangan mengerdip, tatap dan penamu asah,
Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau basah!!
Dalam sajak “Catetan TH. 1946” tersebut pada baris pertama dipergunakan sinekdoki pars pro toto yaitu “tangan” untuk menyatakan keseluruhan diri si aku. Tangan yang jemu terkulai menyatakan diri si aku yang tak berdaya. Dipergunakan itu karena tangan itu merupakan pusat kekuatan bekerja. Jika tangan terkulai berarti seluruh diri akan tak berdaya, dalam arti orang sudah tidak dapat bekerja dan berusaha lagi. Begitu juga suara (bait pertama baris ketiga) menyatakan orang yang memiliki suara itu, yaitu kekasih, istri, anak, atau orang-orang yang dicintai. Suara merupakan pusat perhatian yang paling menarik hati si aku, maka itulah yang ditonjolkan. Lebih jauh lagi, suara yang dicintai itu dapat berarti suara-suara kehidupan sendiri yang dicintai oleh si aku, suara-suara kehidupan yang membuatnya hidup.
1. Citraan
1)   Citra pendengaran
Citra pendengaran yaitu citraan yang timbul oleh pendengaran atau berhubungan dengan indra pendengaran. Citra pendengaran yang terdapat pada sajak “Persetujuan dengan Bung Karno” karya Chairil Anwar, yaitu terletak pada baris “Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji”. “Aku sudah cukup lama dengan bicaramu”. Pada kata “Bikin janji” dan “Aku sudah cukup lama dengan bicaramu”, berkaitan dengan citra pendengaran.
2)   Citra gerak
Citra gerak yaitu citraan yang menggambarkan sesuatu yang sebetulnya tidak bergerak tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak. Citra gerak yang terdapat pada sajak “Persetujuan dengan Bung Karno” karya Chiril Anwar, yaitu terletak pada baris “Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlabuh”. “Di uratku kapal-kapal kita bertolak dan berlabuh”. Disini digambarkan ada keinginan yang sama, kemauan yang sama, tujuan yang sama untuk mencapai suatu cita-cita. Sehingga digambarkan seperti kapal yang bergerak membawa penumpang mencapai tujuan yang sama.
3)   Citra visual / penglihatan
Citra visual yang konkret terdapat dalam sajak “Catetan TH. 1946” yaitu terletak pada “mainan cahaya di air hilang bentuk dalam kabut”. Begitu juga untuk mengkongkretkan tanggapan bahwa si aku sendiri mesti membuat kenangan (peringatan) bagi dirinya sendiri, untuk menyatakan bahwa dirinya pernah ada, pernah hidup di dunia.
4)   Citra lingkungan
Citra lingkungan yaitu citraan yang menggunakan gambaran-gambaran selingkungan. Hal tersebut terdapat pada sajak “Krawang-Bekasi” karya Chairil Anwar”, yaitu terletak pada baris “Kami bicara padamu dalam hening dimalam sepi”. Dari kutipan bait tersebut merupakan citra lingkungan.
5)   Citra intelektual
Citra intelektual yaitu citraan yang timbul oleh asosiasi intelektual / pemikiran. Citra intelektual yang terdapat pada sajak “Krawang-Bekasi” karya Chairil Anwar terletak pada barik ketiga, bait pertama “Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami, terbang kami maju dan mendegap hati?”. Pada kalimat tersebut dibutuhkan pemikiran untuk memahami kata-kata tersebut di atas terutama sebuah pertanyaan dari Sang Penyair dengan menggunakan citra intelektual. Apakah yang dimaksud dengan “deru kami” pada kalimat tersebut?, lalu apakah yang dimaksud oleh Sang Penyair dengan “terbang kami maju dan mendegap hati”?. Bisa jadi yang dimaksud dengan “deru kami” yaitu segala keinginan dan harapan dari Sang Penyair atau semua gejolak hati yang tidak dapat disampaikan lewat kata-kata oleh Sang Penyair.
1. Sarana retorika
Dalam sajak “Aku” Chairir Anwar ini dinyatakan dengan sarana retorika yang berupa hiperbola, dikombinasi dengan ulangan, serta diperkuat oleh ulangan bunyi vokal a dan u ulangan bunyi lain serta persajakan akhir.
Hiperbola tersebut terdapat dalam sajak “Aku” yaitu:
. . .
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar perlu menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
. . .
Aku ingin hidup seribu tahun lagi
. . .
Gaya tersebut disertai ulangan i-i yang lebih menambah intensitas :
. . .
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku ingin hidup seribu tahun lagi
Dengan demikian jelas hiperbola tersebut penonjolan pribadi tanpa makin nyata disana ia mencoba untuk nyata berada di dalan dunianya. Sajak ini menimbulkan banyak tafsir, yang bersifat ambiguitas hal ini disebabkan ketaklangsungan ucapan dengan cara bermacam-macam.
Semuanya itu untuk menarik perhatian, untuk menimbulkan pemikiran, dan untuk memproyeksikan prinsip ekuivalensi dari proeses pemilihan ke poros kombinasi. “kalau samapai waktuku” dapat berarti “kalau aku mati”, “tak perlu sedu sedan “ “berarti tak ada gunannya kesedihan itu”. “Tidak juga kau” dapat berarti “tidak juga engkau anaku, istriku, atau kekasihku”.
Kiasan-kiasan yang dilontarkan oleh Chairil Anwar dalam puisinya menunjukan bahwa di dalam dirinya mencoba memetaforakan akan bahasa yang digunakan yang bertujuan mencetusan langsung dari jiwa. Cetusan itu dapat bersifat mendarah daging, seperti sajak “aku”. Dengan kiasan-kiasan itu gambaran menjadi konkrit, berupa citra-citra yang dapat diindra, gambaran menjadi nyata, seolah dapat dilihat, dirasakan sakitnya. Di samping itu kiasa-kiasan tersebut menyebabkan kepadatan sajak. Untuk menyatakan semangat yang nyala-nyala untuk merasakan hidup yang sebanyak-banyaknya digunakan kiasan “aku mau hidup seribu tahun lagi”. di sini kelihatan gambaran bahwa si aku penuh vitalitas mau mereguk hidup ini selama-lamanya.
Sajak “Catetan TH. 1946” yaitu menggunakan sarana retorika hiperbola “jangan mengerdip” untuk menyatakan berusaha penuh perhatian dan terus-menerus sehingga mata pun tidak berkedip. Kehidupan yang kosong dicitra-visualkan dan dikiaskan secara metaforik dan hiperbolik: “kertas gersang”. Sedang kehausan akan hidup dicitra-rasakan (taste image) “tenggorokan kering sedikit mau basah!”. Ini lebih nyata daripada “haus” menjadi lebih konkret.
1. Analisis semiotik
2. Analisis matrik atau kata kunci dalam “Kumpulan sajak Chairil Anwar (Aku ini binatang jalang)”
Matrik atau kata kunci yang terdapat dalam “Kumpulan sajak Chairil Anwar (Aku ini binatang jalang)” terletak pada kata “Aku”. Seperti yang terdapat dalam sajak “Aku” dan “Persetujuan Dengan Bung Karno”, kata “Aku” mempunyai arti dan kekuatan yang sangat kuat, yakni menunjukkan vitalisme (semangat perjuangan) yang ada dalam diri Chairil Anwar. Semangat  kebangsaan, atau nasionalisme dan patriotisme, memang seakan melekat pada citra Chairil Anwar (1922-1949). Chairil aktif berpuisi pada zaman revolusi, sebuah kurun mahagenting dalam sejarah bangsa Indonesia dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Vitalisme yang terdapat dalam diri Chairil Anwar yaitu terletak pada semangat perjuangan dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Sajak yang mengandung tema vitalisme atau semangat antara lain sajak “Aku”.
AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Puisi Chairil adalah semangat merebut hidup yang pastilah tidak mudah, apalagi bagi penyair yang penuh kesulitan hidup ini. Bahkan meskipun dia berbicara tentang sesuatu yang perih-pedih, semangat hidupnya tetap terasa menggelora. Adalah karakter penyair ini tampaknya, bahwa dia tidak mudah menyerah melawan hidup yang begitu pedih. Puisi “Aku” jelas menunjukkan itu. Chairil sebagai seorang yang memiliki semangat tinggi yang ditunjukkan dengan pernyataan sikap “mau hidup seribu tahun lagi”. Dalam karya sajak “Aku”, Chairil begitu tak terbendung. Sikapnya yang tidak mau peduli dan ingin hidup seribu tahun lagi adalah pernyataan sikap seorang vitalis. Ia tidak mau menyerah terhadap apa pun yang menghalangi maunya. Tak mau menyerah pada “kau lirik”, juga tak mau menyerah pada luka dan bisa yang menghalangi. Bahkan oleh Chairil, luka dan bisa itu masih dapat ia bawa berlari semampunya. Semua itu akan berakhir bila Chairil sudah merasa hilang pedih peri, dalam bahasa kita biasa dikatakan sebagai mati. Maka tidak heran memang bila sajak ini adalah salah satu sajak paling pas untuk masa itu yang penuh dengan suasana tekanan penjajah kolonial.
PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO
Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
Kata “Aku” yang terdapat dalam sajak diatas menunjukkan vitalisme (semangat perjuangan) Chairil Anwar, mempunyai makna yang sama seperti kata “Aku” yang terdapat dalam sajak “Aku”, yakni suatu kekuatan yang sangat hebat seperti suatu penegasan untuk menunjuk semangat si aku (Chairil Anwar). Seperti ketegasannya lebih lanjut: “Ayo!”.  “Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji / Aku sudah cukup lama dengar bicaramu / dipanggang atas apimu, digarami oleh lautmu / Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945 / Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu / Aku sekarang api aku sekarang laut / Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat / Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar / Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh” (1948)   Betapa plastis dan puitisnya semangat  Revolusi Agustus diungkapkan oleh Chairil Anwar itu. Suatu pengungkapan kobaran api revolusi yang dinamis dan optimis.
1. Analisis heuristik “Kumpulan sajak Chairil Anwar (Aku ini binatang jalang)”
Dalam makna puisi dapat di analisis dengan pembacaan heuristik. Analisis heuristik ini akan di analisis melalui sajak “Diponegoro”.
DIPONEGORO
Dimasa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Didepan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali
Pedang dikanan, keris dikiri
Berselempang semangat yang tak bias mati
Maju
Bagimu negri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinta
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai.
Maju.
Serbu.
Serang.
Terjang.
Siapa pemuda Indonesia yang tak tergerak hatinya untuk meneruskan perjuangan Diponegoro, mengenyahkan penjajah dari Indonesia. Maka dari itu, biarpun “Lawan banyaknya seratus kali” dan meskipun hanya bersenjatakan “Pedang di kanan, keris di kiri”, tetapi dengan “Berselempang semangat yang tidak bisa mati” mereka tetap “maju”, meskipun “Ini barisan tak bergendang berpalu”, tetapi “kepercayaan tanda menyerbu” untuk mengusir penjajah, yang meskipun mungkin mereka harus mati tetapi telah berhasil memberi arti pada hidup ini.
1. Analisis hermeuristik “Kumpulan sajak Chairil Anwar (Aku ini binatang jalang)”
KRAWANG-BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garsi batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
“Krawang-Bekasi” adalah sebuah kreasi puisi kemerdekaannya yang amat menyentuh perasaan sekaligus menggugah pikiran yang mengobarkan semangat juang dengan segala pengorbanannya. Sajak itu merupakan suara jiwa pahlawan dengan semangat kepahlawanannya yang gugur di medan laga. Semangat yang menggelorakan semangat para pejuang  demi membela dan mewujudkan kemerdekaan. Hal itu dapat dilihat dari kata : “Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi”. Kata “Merdeka” dan angkat senjata lagi mempunyai pengertian sebuah penjuangan untuk kebebasan mengatur negerinya sendiri. Salah satunya cara untuk mencapai cita-cita tersebut adalah dengan angkat senjata yaitu dengan jalan “Perang”. Pada kalimat lain nampak jelas kalau tema yang diangkat pada “Krawang-Bekasi” adalah sebuah perjuangan yaitu pada kalimat :” Teruskan, teruskan jiwa kami”, pada kalimat itu perjuangan harus dilanjukan meskipun banyak korban yang berjatuhan. Sedang yang dimaksud dengan “jiwa kami” adalah semangat dari para pendahulu yang telah gugur di medan perang supaya dapat dilanjutkan oleh generasi yang akan datang.
1. Hubungan intertekstual
Adanya hubungan intertekstual dapat dikaitkan dengan teori resepsi. Pada dasarnya pembacalah yang menentukan ada atau tidaknya kaitan antara teks yang satu dengan teks yang lain itu. Unsur-unsur hipogram itu berdasarkan persepsi, pemahaman, pengetahuan, dan pengalamannya membaca teks-teks lain sebelumnya. Penunjukan terhadap unsur hipogram pada suatu karya dari karya-karya lain, pada hakikatnya merupakan penerimaan atau reaksi pembaca.
Hubungan intertekstual sajak “The Young Dead Soldiers Do Not Speak”  karya Archibald MacLeish, dengan sajak “Krawang-Bekasi” karya Chairil Anwar ini yaitu dengan adanya persamaan dan perbedaan yang terdapat pada kedua sajak tersebut. Sajak “The Young Dead Soldiers Do Not Speak”  karya Archibald MacLeish ini menjadi hipogramnya, sedangkan sajak “Krawang-Bekasi” karya Chairil Anwar merupakan transformasi. Dari kegemarannya Chairil Anwar membaca-baca buku-buku, sehingga ia terisnpirasi untuk membuat sajaknya bertajuk “Krawang-Bekasi”, yang disadurnya dari sajak “The Young Dead Soldiers Do Not Speak”, karya Archibald MacLeish.
KRAWANG-BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garsi batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
(By. Chairil Anwar)
(Yang Terempas dan Yang Putus, Pustaka Rakyat, 1949)
THE YOUNG DEAD SOLDIERS DO NOT SPEAK
The young dead Soldiers do not speak.
Nevertheless they are heard in the still houses … who has not heard them?
They have a silence that speaks for them at night and when the clock counts.
They say, We were young. We have died. Remember us.
They say, We have done what we could but until it is finished it is not done.
They say, We have given our lives but until it is finished no one can know what our lives gave.
They say, Our deaths are not ours … they are yours … they will mean what you make them.
They say, Whether our lives and our deaths were for peace and a new hope or for nothing we cannot say … it is you who must say this.
They say, We leave you our deaths … give them their meaning … given them an end to the war and a true peace … give them a victory that ends the war and a peace afterwards … give them their meaning.
We were young, they say. We have died. Remember us.
(By. Archibald MacLeish)
(1948)
Terjemahan Sajak “The Young Dead Soldiers Do Not Speak” dalam Bahasa Indonesia
PRAJURIT MATI MUDA TIDAK BERBICARA
(The Young Dead Soldiers Do Not Speak)
Prajurit mati muda tidak berbicara.
Meskipun demikian mereka masih terdengar di rumah … yang belum pernah mendengar mereka?
Mereka memiliki keheningan yang berbicara bagi mereka pada malam hari dan ketika hitungan jam.
Mereka berkata, Kami masih muda. Kami telah meninggal. Ingat kita.
Mereka mengatakan, Kami telah melakukan apa yang kita bisa tetapi sampai selesai itu tidak dilakukan.
Mereka mengatakan, Kami telah memberikan hidup kita, tetapi sampai selesai tidak ada yang bisa tahu apa yang hidup kita berikan.
Mereka mengatakan, kematian kita bukan milik kita … mereka adalah milik-Mu … mereka akan berarti apa yang membuat mereka.
Mereka berkata, Apakah kehidupan kita dan kematian kita adalah untuk kedamaian dan harapan baru atau untuk apa-apa kita tidak bisa mengatakan …. adalah Anda yang harus mengatakan ini.
Mereka berkata, Kami meninggalkan Anda kematian kita … memberi mereka arti mereka …
memberi mereka mengakhiri perang dan kedamaian sejati… memberi mereka kemenangan yang mengakhiri perang dan perdamaian sesudahnya …. memberi mereka maknanya.
Kami masih muda, kata mereka. Kami telah meninggal. Ingat kita.
(By. Archibald MacLeish)
(1948)
Hubungan intertekstual pada sajak “Krawang-Bekasi” dengan sajak “The Young Dead Soldiers Do Not Speak” terletak pada adanya kesamaan tema yang terdapat dalam kedua sajak tersebut. Dalam sajak “Krawang-Bekasi” mempunyai tema mengenai nilai-nilai pengorbanan para Pahlawan bangsa. Dalam sajak “The Young Dead Soldiers Do Not Speak” juga mempunyai tema yang sama dengan sajak “Krawang-Bekasi” yaitu pengorbanan yang telah diberikan para pejuang bangsa. Meresapi makna yang terkandung dalam kedua sajak tersebut dapat dilihat bahwa betapa besar pengorbanan para pejuang bangsa yang telah gugur, tanpa pernah sempat menikmati indahnya kemerdekaan yang diperjuangkan dengan tumpahan darah dan serakan tulang-belulang mereka. Bahkan para pahlawan tanpa nama yang telah rela mati muda demi kemerdekaan negrinya. Besarnya arti pengorbanan para pejuang bangsa memang terletak dari seberapa besar kita dapat menghargai dan memaknai kemerdekaan yang telah direnggut dengan segenap jiwa dan raga serta gelimangan darah mereka. Akankah kita menyia-nyiakannya dan menganggapnya sekedar sebagai ’’telah semestinya’’ ataukah kita akan mengisinya dengan nilai-nilai yang jauh lebih bermakna.
Persamaan dalam sajak “Krawang-Bekasi” dengan sajak “The Young Dead Soldiers Do Not Speak” dapat dilihat dari beberapa kalimat yang hampir sama dan mengandung arti yang sama yaitu:
Kutipan sajak “Krawang-Bekasi”
. . .
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
. . .
Kutipan Sajak “The Young Dead Soldiers Do Not Speak”
. . .
Mereka memiliki keheningan yang berbicara bagi mereka pada malam hari dan ketika hitungan jam.
Mereka berkata, Kami masih muda. Kami telah meninggal. Ingat kita.
Dari kutipan kedua sajak diatas dapat dilihat bahwa ada persamaan kata dan makna, seperti “hening” dengan “keheningan” yang mempunyai makna sama yaitu dalam suasana keheningan atau kesunyian, “malam” dengan “malam”  mempunyai makna sama yaitu menunjukkan waktu yang sama yaitu pada malam hari, “jam dinding yang berdetak” dengan “hitungan jam” mempunyai makna sama yaitu menunjukan ketika pada saat hitungan jam itu meraka telah mati, “kami mati muda” dengan “kami masih muda kami telah meninggal” mempunyai makna sama yaitu mereka mati dalam usia muda, “kenanglah kami” dengan “ingat kita” mempunyai makna sama yaitu mengatakan bahwa mereka ingin selalu dikenang.
Kutipan sajak “Krwang-Bekasi”
. . .
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
. . .
Kutipan sajak “The Young Dead Soldiers Do Not Speak”
. . .
Mereka mengatakan, Kami telah melakukan apa yang kita bisa tetapi sampai selesai itu tidak dilakukan.
Mereka mengatakan, Kami telah memberikan hidup kita, tetapi sampai selesai tidak ada yang bisa tahu apa yang hidup kita berikan.
Mereka mengatakan, kematian kita bukan milik kita … mereka adalah milik-Mu … mereka akan berarti apa yang membuat mereka.
Mereka berkata, Apakah kehidupan kita dan kematian kita adalah untuk kedamaian dan harapan baru atau untuk apa-apa kita tidak bisa mengatakan …. adalah Anda yang harus mengatakan ini.
. . .
Dari kutipan kedua sajak diatas dapat dilihat bahwa terdapat persamaan  makna, seperti “Kami sudah coba apa yang kami bisa, Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa” dengan “Kami telah melakukan apa yang kita bisa tetapi sampai selesai itu tidak dilakukan” mempunyai makna sama yaitu mereka mengatakan bahwa mereka sudah berusaha namun sudah mati sebelum selesai (sebelum merdeka), “Kami sudah beri kami punya jiwa” dengan “Kami telah memberikan hidup kita” mempunyai makna sama yaitu mereka sudah sama-sama telah memberikan hidup dan nyawanya, “Kami cuma tulang-tulang berserakan, Tapi adalah kepunyaanmu, Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan” dengan “kematian kita bukan milik kita … mereka adalah milik-Mu … mereka akan berarti apa yang membuat mereka” mempunyai makna sama yaitu mereka merupakan milik kita semua dan kita yang dapat menilai mereka, “Kaulah sekarang yang berkata” dengan “Anda yang harus mengatakan ini” mempunyai makna sama yaitu bahwa kitalah yang harus melanjutkan perjuangan mereka.
Pada sajak “Krawang-Bekasi” dengan sajak “The Young Dead Soldiers Do Not Speak” juga terdapat perbedaan, yaitu pada sajak “Krawang-Bekasi” menceritakan akan perjuangan kemerdekaan yang dilakukan namun ia telah gugur dalam usia muda, dan berpesan kepada kita semua untuk selalu mengenangnya dan menjaga Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir. Pada sajak “The Young Dead Soldiers Do Not Speak” hanya menceritakan tentang prajurid yang mati muda dalam memperjuangkan kemerdekaannya
D. PENUTUP
Berdasarkan analisis Struktural dan Semiotik pada “Kumpulan sajak Chairil Anwar (Aku ini binatang jalang)” dapat disimpulkan bahwa dalam analisis struktural dari segi gaya kepuitisan yang meliputi diksi atau pemilihan kata, bahasa kiasan. Citraan, dan sarana retorika.
Diksi atau pemilihan kata yang dianalisis dalam sajak “Krawang-Bekasi” sangat jelas, lugas, juga penuh dengan ketegasan atau keterus terangan dari Sang Penyair. yang digunakan oleh penyair Chairil Anwar ini sangat penuh dengan vitalisme. Hal itu dapat dilihat dari makna dan semiotika yang dibangkitkan dengan sengaja, Diksi atau pilihan kata yang digunakan oleh penyair Chairil Anwar pada sajak “Aku” ini juga sangat terlihat pada kemantapan dan semangat (vitalisme) yang menunjukkan ketegasan seperti: ‘ku mau, tak perlu sedan itu, aku tetap meradang, aku akan akan lebih tidak peduli, dan aku mau hidup seribu tahun lagi; juga ditandai oleh bunyi vokal yang berat: a dan u yang dominan.
Bahasa kiasan yang digunakan seperti personifikasi dalam sajak “Persetujuan Dengan Bung Karno” terlihat pada “Kami sekarang mayat, Berikan kami arti” disini terlihat makna seakan-akan mayat yang secara sifatnya tidak dapat birbicara,tetapi oleh Sang Penyair “Mayat” tersebut dapat berbicara seperti manusia hidup dan berpesan “Berikan kami arti” dan seterusnya. Dalam sajak “Persetujuan Dengan Bung Karno”  Metafora itu terlihat pada “Aku sekarang api aku sekarang laut”, disini Sang Penyair mengibaratkan dirinya seperti laut dan api, mempunyai sifat-sifat seperti api yang selalu membakar dan panas. Dalam sajak “Persetujuan Dengan Bung Karno” kiasan yang digunakan seperti api dan laut dan senantiasa berjalan beriringan dengan Sang Pemimpinnya menjadi satu urat dan satu zat,sesuatu yang tak terpisahkan sehingga menggunakan kendaraan kapal-kapal untuk sampai pada tujuan yang sama. Metafora yang dihadirkan Chairil dalam sajak “Aku” setelah dalam dua bait sebelumnya dia jelaskan apa yang ia tekadkan. Metafora itu mempertegas dan sekaligus dipertegas oleh kehadiran dua bait itu: Kalau sampai waktuku / kumau tak seorang kan merayu / Tidak juga kau // Tak perlu sedu sedan itu. Dalam sajak “Catetan TH. 1946” tersebut pada baris pertama dipergunakan sinekdoki pars pro toto yaitu “tangan” untuk menyatakan keseluruhan diri si aku.
Citra pendengaran yang terdapat pada sajak “Persetujuan dengan Bung Karno” karya Chairil Anwar, yaitu terletak pada baris “Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji”. “Aku sudah cukup lama dengan bicaramu”. Pada kata “Bikin janji” dan “Aku sudah cukup lama dengan bicaramu”, berkaitan dengan citra pendengaran.
Citra gerak yang terdapat pada sajak “Persetujuan dengan Bung Karno” karya Chiril Anwar, yaitu terletak pada baris “Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlabuh”. “Di uratku kapal-kapal kita bertolak dan berlabuh”. Disini digambarkan ada keinginan yang sama, kemauan yang sama, tujuan yang sama untuk mencapai suatu cita-cita. Sehingga digambarkan seperti kapal yang bergerak membawa penumpang mencapai tujuan yang sama.
Citra visual yang konkret terdapat dalam sajak “Catetan TH. 1946” yaitu terletak pada “mainan cahaya di air hilang bentuk dalam kabut”. Begitu juga untuk mengkongkretkan tanggapan bahwa si aku sendiri mesti membuat kenangan (peringatan) bagi dirinya sendiri, untuk menyatakan bahwa dirinya pernah ada, pernah hidup di dunia.
Citra lingkungan terdapat pada sajak “Krawang-Bekasi” karya Chairil Anwar”, yaitu terletak pada baris “Kami bicara padamu dalam hening dimalam sepi”. Dari kutipan bait tersebut merupakan citra lingkungan.
Citra intelektual yang terdapat pada sajak “Krawang-Bekasi” karya Chairil Anwar terletak pada barik ketiga, bait pertama “Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami, terbang kami maju dan mendegap hati?”. Pada kalimat tersebut dibutuhkan pemikiran untuk memahami kata-kata tersebut di atas terutama sebuah pertanyaan dari Sang Penyair dengan menggunakan citra intelektual.
Dalam sajak “Aku” Chairir Anwar ini dinyatakan dengan sarana retorika yang berupa hiperbola, dikombinasi dengan ulangan, serta diperkuat oleh ulangan bunyi vokal a dan u ulangan bunyi lain serta persajakan akhir.
Sajak “Catetan TH. 1946” yaitu menggunakan sarana retorika hiperbola “jangan mengerdip” untuk menyatakan berusaha penuh perhatian dan terus-menerus sehingga mata pun tidak berkedip. Kehidupan yang kosong dicitra-visualkan dan dikiaskan secara metaforik dan hiperbolik: “kertas gersang”. Sedang kehausan akan hidup dicitra-rasakan (taste image) “tenggorokan kering sedikit mau basah!”. Ini lebih nyata daripada “haus” menjadi lebih konkret.
Analisis semiotik dalam “Kumpulan sajak Chairil Anwar (Aku ini binatang jalang)” ini adalah analisis Matrik atau kata kunci dalam sajak “Aku” terletak pada kata “Aku”. Kata “Aku” mempunyai arti dan kekuatan yang sangat kuat, yakni menunjukkan vitalisme (semangat perjuangan) yang ada dalam diri Chairil Anwar. Kata “Aku” yang terdapat dalam sajak “Persetujuan Dengan Bung Karno” juga menunjukkan vitalisme (semangat perjuangan) yakni suatu kekuatan yang sangat hebat seperti suatu penegasan untuk menunjuk semangat si aku (Chairil Anwar).
Analisis heuristik pada sajak “Diponegoro” yaitu, biarpun “Lawan ba-nyaknya seratus kali” dan meskipun hanya bersenjatakan “Pedang di kanan, keris di kiri”, tetapi dengan “Berselempang semangat yang tidak bisa mati” mereka tetap “maju”, meskipun “Ini barisan tak bergendang berpalu”, tetapi “kepercayaan tanda menyerbu” untuk mengusir penjajah, yang meskipun mungkin mereka harus mati tetapi telah berhasil memberi arti pada hidup ini.
Analisis hermeuristik pada sajak “Krawang-Bekasi” adalah sebuah kreasi puisi kemerdekaannya yang amat menyentuh perasaan sekaligus menggugah pikiran yang mengobarkan semangat juang dengan segala pengorbanannya. Sajak itu merupakan suara jiwa pahlawan dengan semangat kepahlawanannya yang gugur di medan laga. Semangat yang menggelorakan semangat para pejuang  demi membela dan mewujudkan kemerdekaan.
Hubungan intertekstual pada sajak “Krawang-Bekasi” dengan sajak “The Young Dead Soldiers Do Not Speak” terletak pada adanya kesamaan tema yang terdapat dalam kedua sajak tersebut. Dalam sajak “Krawang-Bekasi” mempunyai tema mengenai nilai-nilai pengorbanan para Pahlawan bangsa. Dalam sajak “The Young Dead Soldiers Do Not Speak” juga mempunyai tema yang sama dengan sajak “Krawang-Bekasi” yaitu pengorbanan yang telah diberikan para pejuang bangsa.
Pada sajak “Krawang-Bekasi” dengan sajak “The Young Dead Soldiers Do Not Speak” juga terdapat perbedaan, yaitu pada sajak “Krawang-Bekasi” menceritakan akan perjuangan kemerdekaan yang dilakukan namun ia telah gugur dalam usia muda, dan berpesan kepada kita semua untuk selalu mengenangnya dan menjaga Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir. Pada sajak “The Young Dead Soldiers Do Not Speak” hanya menceritakan tentang prajurid yang mati muda dalam memperjuangkan kemerdakaannya.

0 Response to "Makalah Tentang Analisis Puisi dan Intertekstual"

Post a Comment