Chairil Anwar adalah legenda sastra yang hidup
di batin masyarakat Indonesia. Ia menjadi ilham bagi perjuangan kemerdekaan
bangsanya.
Namun
siapa sangka, penyair yang memelopori pembebasan bahasa Indonesia dari tatanan
lama ini adalah juga seorang pengembara batin yang menghabiskan usianya hanya
untuk puisi?
Berikut
ini tulisan tentang Chairi Anwar, yang sebagian besar bahannya dicuplik
dari buku Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan, karya Arief Budiman, ditambah
beberapa referensi lain serta sejumlah wawancara.
"Di
Jalan Juanda (Jakarta) dulu ada dua toko buku, yang sekarang jadi kantor
Astra. Namanya toko buku Kolf dan van Dorp. Koleksinya luar biasa banyak.
Saya
dan Chairil suka mencuri buku di situ," begitu Asrul Sani pernah
bercerita.
"Suatu
kali kami melihat buku Friedrich Nietzsche, Also Sprach Zarathustra. `Wah, itu
buku mutlak harus dibaca,' kata Chairil pada saya. `Kau perhatikan orang itu,
aku mau mengantongi Nietzsche ini.' Chairil memakai celana komprang dengan dua
saku lebar, cukup besar untuk menelan buku itu."
Buku-buku
filsafat, termasuk buku Nietzsche tadi, diletakkan di antara buku-buku agama.
Kebetulan buku Nietzsche ukuran dan warna sampulnya yang hitam persis
betul dengan kitab Injil. "Sementara Chairil mengantongi buku, saya
memperhatikan pelayan toko," kata Asrul. "Hati saya deg-degan
setengah mati.
Setelah
buku berpindah tempat, kami lantas keluar dari toko dengan tenang. Tapi sampai
di luar tiba-tiba Chairil terkejut, `Kok ini? Wah, salah ambil aku!' sambil
tangannya terus membolak-balik buku. Rupanya Chairil salah mengambil
Injil. Kami kecewa sekali."
Chairil
Anwar memang seorang "penggila" buku, yang dengan rakus melahap
karya-karya W.H. Auden, Steinbeck, Ernest Hemingway, Andre Gide, Marie Rilke,
Nitsche, H. Marsman, Edgar du Peroon, J. Slauerhoff, dan banyak lagi.
Tapi
dia adalah penggila buku yang urakan, selalu kekurangan uang, tidak punya
pekerjaan tetap, suka keluyuran, jorok, penyakitan, dan tingkah lakunya
menjengkelkan. Alhasil, lengkaplah "ciri-ciri" seniman pada dirinya.
Namun,
dia juga contoh yang baik tentang totalitas berkesenian dalam dunia sastra
Indonesia. Jika Sanusi Pane, Amir Hamzah, Rustam Effendi, dan M. Yamin hanya
menjadikan kegiatan menulis puisi sebagai kegiatan sampingan, di samping tugas
keseharian mereka sebagai redaktur sebuah surat kabar, politikus, atau lainnya,
ia semata-mata hidup untuk puisi dan dari puisi.
Tak
Terurus. Nama Chairil mulai dikenal di kalangan seniman pada tahun 1943. H.B.
Jassin punya cerita. "Suatu hari di tahun 1943," tuturnya,
"Chairil datang ke redaksi Pandji Pustaka; seorang muda kurus pucat tidak terurus kelihatannya.
"Chairil datang ke redaksi Pandji Pustaka; seorang muda kurus pucat tidak terurus kelihatannya.
Matanya
merah, agak liar, tetapi selalu seperti berpikir. Gerak-geriknya lambat seperti
orang tak peduli. Ia datang membawa sajak-sajaknya untuk dimuat di majalah
Pandji Pustaka. Tapi didapatnya keterangan bahwa sajak-sajaknya tidak mungkin
dimuat. Kata pemimpin majalah itu, `Susunan Dunia Baru' (sajak Chairil) tidak
ada harganya. Sajak-sajak individualis lebih baik dimasukkan saja dalam
simpanan prive (privacy) sang pengarang. Kiasan-kiasannya terlalu
mem-Barat."
Sejak
itu sang penyair sering terlihat di kantor Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka
Shidoso), yang didirikan Jepang tahun 1943 di Jakarta, dan diketuai sastrawan
Armijn Pane. Di kalangan seniman waktu itu, ia mulai sering disebut-sebut
sebagai penyair muda yang memperkenalkan gagasan-gagasan baru di sekitar puisi.
Gaya
bersajak dan elan vital dalam puisi-puisinya yang bercorak individualistis dan
mem-Barat membedakannya dengan kecenderungan puisi-puisi yang dilahirkan
generasi sebelumnya (baca: Poedjangga Baroe).
Bukan
secara kebetulan agaknya jika sajak-sajak Chairil memiliki nuansa
individualistis yang kental. Pergumulan total Chairil dengan kesenian agaknya
telah menuntun sang penyair terjerembab dalam sebuah ritus pencarian filosofis.
Semacam
tertuntun pada sebuah kredo bahwa di dalam kesenian, berfilsafat menjadi keniscayaan
yang menusuk. Terutama karena berkesenian mengharuskan sang seniman berhadapan
dengan problem-problem tentang ketuhanan, kebebasan, dan apa saja.
Salah
Kaprah. Buat kita sekarang, sosok Chairil sudah lekat dengan citra kepenyairan
Indonesia. Sejumlah larik puisi dari penyair kita ini telah menjadi semacam
pepatah atau kata-kata mutiara yang hidup di kalangan
masyarakat:
masyarakat:
"Aku
ini binatang jalang", "Hidup hanya menunda kekalahan",
"Aku mau hidup seribu tahun lagi", dan masih banyak lagi. Atau bertanyalah pada siswa SLTP dan SLTA siapa penyair kondang Indonesia, niscaya mereka akan menyebut namanya, lengkap dengan beberapa judul syairnya.
"Aku mau hidup seribu tahun lagi", dan masih banyak lagi. Atau bertanyalah pada siswa SLTP dan SLTA siapa penyair kondang Indonesia, niscaya mereka akan menyebut namanya, lengkap dengan beberapa judul syairnya.
Tapi
mungkin tidak banyak yang tahu, ada yang salah dalam persepsi kita mengenai
tokoh yang satu ini. Ada yang salah kaprah. Sebagai ilustrasi, sajak
"Aku" lebih sering dipahami banyak orang sebagai sajak
pemberontakan terhadap penjajahan. Padahal tidak. Kata Asrul Sani, sajak itu
sebenarnya tidak lebih dari "teriakan putus asa dan rasa getir",
termasuk penolakan terhadap sesuatu yang sangat berarti dalam hidupnya, yaitu
ayahnya.
Sajak
"Diponegoro" juga sering dikira sajak perjuangan.
Padahal, seperti pernah diulas Arief Budiman, sajak itu adalah cerminan dari ekspresi kekaguman Chairil pada semangat hidup Pangeran Diponegoro, di saat jiwanya amat diresahkan dengan kematian dan absurditas.
Padahal, seperti pernah diulas Arief Budiman, sajak itu adalah cerminan dari ekspresi kekaguman Chairil pada semangat hidup Pangeran Diponegoro, di saat jiwanya amat diresahkan dengan kematian dan absurditas.
Ia
menulis puisi pertamanya, "Nisan", pada Oktober 1942, ketika ia
berusia 20 tahun, ketika teknik persajakan belum dikuasainya benar. Para
pengamat sastra menganggap sajak ini sebagai sajak tertuanya. Padahal, menurut
H.B. Jassin, sebelum "Nisan" Chairil sudah lebih dulu membuat
sajak-sajak corak Pujangga Baru, tapi karena tidak memuaskannya lalu dia buang.
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridhaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu di atas debu
Dan duka maha tuan tak bertahta.
Keridhaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu di atas debu
Dan duka maha tuan tak bertahta.
Sajak
"Nisan" ini, yang didedikasikan untuk neneknya yang baru meninggal,
merupakan renungan Chairil tentang kematian, yang di matanya teramat misterius,
namun tak terhindarkan oleh siapa pun.
Renungannya
ini lalu menghantarkan ia pada pertanyan eksistensial: "Bila manusia mati,
lantas apa gunanya segala usaha yang dilakukan dalam hidup ini?"
Pertanyaan
filosofis itu terus mengejarnya, sementara kehidupan sendiri tidak pernah
memberinya jawaban yang memuaskan. Maka bukan hal yang aneh, di saat batin
kemanusiaannya begitu merindukan semangat menghadapi hidup yang absurd dengan
gagah berani, tiba-tiba Chairil mendapati sosok legendaris Pangeran Diponegoro
sebagai perwujudan yang konkret dari kegairahannya mempertahankan hidup.
Inilah
agaknya yang lalu mengilhaminya menulis sajak "Diponegoro", pada
Februari 1943. Meski sama-sama berbicara tentang kematian, sajak-sajak yang
ditulis Chairil menjelang akhir hayatnya lebih sublim dan intens.
Di
samping teknik persajakan telah dikuasainya benar sehingga sajak-sajaknya
terasa jernih, penghayatannya terhadap kehidupan (dan kematian) yang menjadi
subjek puisi-puisinya juga telah mencapai klimaks kematangan sebagai seorang
penyair.
Sajak
pertama yang ditulis Chairil pada 1949 (tahun kematiannya) adalah "Chairil
Muda, Mirat Muda", dengan tambahan judul kecil "Di Pegunungan
1943".
Sajak
ini merupakan kenangan Chairil terhadap saat-saat yang paling membahagiakan
dalam hidupnya--sebuah perasaan yang wajar timbul pada orang-orang yang
menyongsong kematian. Di akhir sajak tersebut ia
sempat menulis kata mati. Namun berbeda dengan sajak-sajaknya yang ditulis pada 1942, di mana kematian dipersoalkan dengan keterlibatan dan perhatian yang penuh, di sajak ini kematian diucapkannya dengan cara yang ringan saja.
sempat menulis kata mati. Namun berbeda dengan sajak-sajaknya yang ditulis pada 1942, di mana kematian dipersoalkan dengan keterlibatan dan perhatian yang penuh, di sajak ini kematian diucapkannya dengan cara yang ringan saja.
Agaknya
kematian bukan lagi sesuatu yang menjadi objek obsesinya, melainkan sebagai
kenyataan yang sederhana, sama sederhananya dengan udara di muka bumi.
Dalam
sajaknya "Yang Terampas dan yang Putus", juga ditulis pada 1949,
Chairil malah secara jelas menulis kesiapannya untuk menghadapi kematian. Ia
tiba-tiba menyadari bahwa impuls-impuls kehidupan tidak pernah sepenuhnya diam.
Demikian
pula dalam sajak "Derai-Derai Cemara", yang ia tulis sesudahnya.
Dalam sajak yang ia tulis setelah percakapan yang panjang dengan dua
sahabatnya, Rivai Apin dan Asrul Sani, Chairil kembali menegaskan bahwa
kehidupan adalah sebingkai misteri yang tidak bisa kita temui artinya, tapi
pada saat yang sama kita memiliki impuls untuk mempertahankannya.
Kita
hidup, menurut Chairil, untuk sesuatu yang tidak kita ketahui maknanya.
Dan barangkali satu-satunya alasan untuk terus hidup adalah karena kita sedang
mencari maknanya.
Namun
misteri tetaplah sebuah misteri, ia tidak pernah akan bisa terpecahkan.
Karenanya mencari makna kehidupan adalah sesuatu yang sia-sia, meski harus
terus dilakukan. Maka bagi Chairil, "hidup hanya
menunda kekalahan/ada yang tetap tidak diucapkan/sebelum pada akhirnya kita menyerah".
menunda kekalahan/ada yang tetap tidak diucapkan/sebelum pada akhirnya kita menyerah".
Penyair
Terbesar. Chairil memiliki simpati yang sangat besar terhadap upaya meraih
kemerdekaan manusia, termasuk perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri
dari penjajahan. Pada 1948, sebagai bukti perhatiannya pada situasi
sosial-politik waktu itu, ia menulis sajak "Krawang-Bekasi", yang
disadurnya dari sajak "The Young Dead Soldiers", karya Archibald
MacLeish.
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Syahrir.
Teruskan, jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Syahrir.
Pada
tahun yang sama, ia menulis sajak "Persetujuan dengan Bung Karno",
yang merefleksikan dukungannya pada Bung Karno untuk terus mempertahankan
proklamasi 17 Agustus 1945. Belakangan, sajak Chairil yang berjudul
"Aku" dan "Diponegoro" juga banyak dipahami orang sebagai
sajak perjuangan. Padahal, sajak-sajak ini adalah jenis sajak individu, yang
sama sekali tidak ada hubungannya dengan perjuangan kemerdekaan karena ditulis
pada 1943. Namun dalam sajak "Aku" misalnya, di mana Chairil
mengintroduksi dirinya sebagai "Aku binatang jalang", ia bisa
menjelmakan kata hati rakyat Indonesia yang ingin bebas.
Dalam
analisis Agus R. Sardjono, penyair terkemuka Bandung, sajak-sajak seperti
"Krawang-Bekasi", "Persetujuan dengan Bung Karno",
"Aku", dan "Diponegoro" inilah yang justru di
kemudian hari membuat Chairil Anwar menjadi legenda dalam dunia kepenyairan
Indonesia.
Hal
itu dimungkinkan karena sajak-sajak ini bersifat sastra mimbar, untuk
menyebut jenis sajak-sajak yang bersifat sosiologis (yang berpretensi
untuk menjawab atau menanggapi fakta-fakta sosial), dan biasanya dibaca dengan
suara keras atau menyeru-nyeru, serta dengan tangan terkepal.
Masih
menurut Agus, nama Chairil mungkin tidak akan begitu populer seperti sekarang
bila dia hanya menciptakan sajak yang berjenis sastra kamar, sajak-sajak yang
kontemplatif dan personal. Betapapun tingginya mutu sajak "Derai-Derai
Cemara", "Senja di Pelabuhan Kecil", atau "Yang terampas
dan yang Putus" secara kesusastraan, namun sajak-sajak demikian sama
sekali tidak memiliki peluang untuk diapresiasi secara massal.
Namun,
dengan segala ketidaksempurnaannya, keberhasilan terbesar Chairil bagi dunia
persajakan Indonesia khususnya, dan bahasa Indonesia pada umumnya, adalah
kepeloporannya untuk membebaskan bahasa Indonesia dari aturan-aturan lama
(ejaan van Ophusyen) yang waktu itu cukup mengekang, menjadi bahasa yang
membuka kemungkinan-kemungkinan sebagai alat pernyataan yang sempurna.
Kebebasan
bahasa itu teramat penting. Terbukti Malasyia, negara yang menggunakan bahasa
Melayu, yang serumpun dengan bahasa Indonesia (tapi tidak pernah memiliki
penyair sekaliber Chairil) dalam hal bahasa jauh tertinggal dari bangsa kita.
Kebebasan bahasa itu adalah prestasi besar bangsa Indonesia.
Dengan
itu kita dapat mengutarakan apa saja langsung dari lubuk hati kita. Dan,
seperti diamini banyak sastrawan kita, berkah itu adalah warisan Chairil Anwar,
penyair terbesar yang pernah kita miliki.
Mengembara di Negeri Asing
Chairil
Anwar tampaknya memang ditakdirkan untuk menjadi penyair yang disalahpahami.
Tapi ia terbilang beruntung karena ia disalahpahami ke arah yang positif.
Begitupun dalam hal religiusitas. Tidak sedikit orang yang menjulukinya penyair
religius. Ini, antara lain, gara-gara sajak "Doa", yang memang amat
religius.
Tak jarang, dalam peringatan hari-hari besar agama Islam (juga Kristen), sajak tersebut dibaca dan memperoleh apresiasi yang luas. Benarkah ia penyair religius? Menurut penuturan Ida Rosihan Anwar (istri wartawan kawakan Rosihan Anwar yang sangat dekat dengan Chairil) dalam kesehariannya Chairil tidak pernah memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan urusan agama. Ia tidak pernah tampak salat, berpuasa di bulan Ramadan, atau bahkan ikut bergembira pada Idul Fitri. Jadi, ia bukan muslim yang baik.
Namun, kalau kita mengacu pada kriteria filosof Paul Tillich tentang siapa yang disebut religius, (yaitu mereka yang secara serius mencoba mengerti hidup ini secara lebih jauh dari batas-batas yang lahiriah saja), Chairil
termasuk kelompok ini.
Konklusi ini semata-mata bersandar pada penyerahan total Chairil untuk menjawab pertanyaan "apa tujuan hidup saya", dalam sepanjang masa hidupnya.
Dan karena agama bagi banyak orang di dunia ini dianggap sebagai jawaban pertanyaan "apa tujuan hidup saya?", Chairil tidak luput membicarakan agama dalam beberapa sajaknya. Sajak "Di Masjid", yang ditulisnya pada 29 Mei 1943, adalah sajak pertama mengenai hal ini.
Dalam sajaknya ini ia menegaskan sikapnya yang tidak mau terikat apa pun juga, serta bersedia menerima segala bentuk penderitaan sebagai akibat pilihannya. Dia menolak untuk menyerah kepada agama, meskipun dia mengakui juga, agama mempunyai daya tarik yang sangat kuat sehingga sulit untuk melawannya: "Kuseru saja Dia/sehingga datang juga/Kamipun bermuka-muka/seterusnya ia bernyala-nyala dalam dada/Segala daya memadamkannya/Ini ruang/gelanggang kami berperang/Binasa membinasa/satu menista lain gila.
Sajaknya yang kedua tentang agama ditulis lima bulan kemudian, berjudul "Isa". Dalam sajak ini, selain terpesona, Chairil juga tersindir dengan pengorbanan dan penderitaan yang dialami Nabi Isa untuk menyelamatkan umat manusia.
Ia merasa "minder" lantaran sikap hidupnya yang hanya memikirkan kemerdekaan diri sendiri, dan tidak peduli pada orang lain. Ia seperti dihadapkan pada pertanyaan, "Apakah sebuah pengorbanan ada artinya?"
Pertanyaan itu terus mengganggu hingga keesokan harinya dia menyerah dan menulis sajak "Doa" sebagai ekspresi penyerahdiriannya kepada Tuhan. Ia berseru: Tuhanku/Dalam termangu/Aku masih menyebut nama-Mu/Biar susah sungguh/mengingat Kau penuh seluruh/caya-Mu panas suci/tinggal kerdip lilin di malam sunyi/Tuhanku/aku hilang bentuk/remuk/ Tuhanku/aku mengembara di negeri asing/Tuhanku/di pintu-Mu mengetuk/ aku tidak bisa berpaling.
Dalam sajak ini Chairil memang tidak menjelaskan apa alasan ia "menyerah", namun yang pasti ia merasa hilang bentuk dan remuk ketika dia berjalan tanpa Tuhan.
Apakah dengan sajak ini Chairil telah "menemukan kembali" Tuhan?
Jawaban sementara: "ya". Agaknya bila Chairil tiba pada suatu titik kehidupan di mana dia mengambil suatu sikap secara lebih utuh, maka perasaan tenang datang meneduhinya.
Pada Februari 1947, dalam suasana yang sudah berbeda, Chairil kembali menulis sajak tentang agama, yang berjudul "Sorga". Di sini, dengan semangat eksistensialismenya yang kental, ia menggugat surga beserta gambarannya yang dijanjikan agama. Selanjutnya Chairil lebih memilih menolak agama karena agama memintanya untuk mengorbankan apa yang nyata sekarang, untuk digantikan sesuatu pada masa datang yang baginya belum pasti.
Maka bisa dipastikan, sesudah sikapnya ini Chairil kembali menemukan dirinya kesepian. Namun, perasaan itu tampaknya sudah dia harapkan dan dia hadapi dengan tenang. Ia kembali memilih menjadi pengembara selama hidupnya.
Meskipun, konon menurut kesaksian H.B. Jassin, menjelang mengembuskan nafasnya yang terakhir, Chairil ternyata tetap tidak lupa menyebut nama Tuhan.
Tak jarang, dalam peringatan hari-hari besar agama Islam (juga Kristen), sajak tersebut dibaca dan memperoleh apresiasi yang luas. Benarkah ia penyair religius? Menurut penuturan Ida Rosihan Anwar (istri wartawan kawakan Rosihan Anwar yang sangat dekat dengan Chairil) dalam kesehariannya Chairil tidak pernah memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan urusan agama. Ia tidak pernah tampak salat, berpuasa di bulan Ramadan, atau bahkan ikut bergembira pada Idul Fitri. Jadi, ia bukan muslim yang baik.
Namun, kalau kita mengacu pada kriteria filosof Paul Tillich tentang siapa yang disebut religius, (yaitu mereka yang secara serius mencoba mengerti hidup ini secara lebih jauh dari batas-batas yang lahiriah saja), Chairil
termasuk kelompok ini.
Konklusi ini semata-mata bersandar pada penyerahan total Chairil untuk menjawab pertanyaan "apa tujuan hidup saya", dalam sepanjang masa hidupnya.
Dan karena agama bagi banyak orang di dunia ini dianggap sebagai jawaban pertanyaan "apa tujuan hidup saya?", Chairil tidak luput membicarakan agama dalam beberapa sajaknya. Sajak "Di Masjid", yang ditulisnya pada 29 Mei 1943, adalah sajak pertama mengenai hal ini.
Dalam sajaknya ini ia menegaskan sikapnya yang tidak mau terikat apa pun juga, serta bersedia menerima segala bentuk penderitaan sebagai akibat pilihannya. Dia menolak untuk menyerah kepada agama, meskipun dia mengakui juga, agama mempunyai daya tarik yang sangat kuat sehingga sulit untuk melawannya: "Kuseru saja Dia/sehingga datang juga/Kamipun bermuka-muka/seterusnya ia bernyala-nyala dalam dada/Segala daya memadamkannya/Ini ruang/gelanggang kami berperang/Binasa membinasa/satu menista lain gila.
Sajaknya yang kedua tentang agama ditulis lima bulan kemudian, berjudul "Isa". Dalam sajak ini, selain terpesona, Chairil juga tersindir dengan pengorbanan dan penderitaan yang dialami Nabi Isa untuk menyelamatkan umat manusia.
Ia merasa "minder" lantaran sikap hidupnya yang hanya memikirkan kemerdekaan diri sendiri, dan tidak peduli pada orang lain. Ia seperti dihadapkan pada pertanyaan, "Apakah sebuah pengorbanan ada artinya?"
Pertanyaan itu terus mengganggu hingga keesokan harinya dia menyerah dan menulis sajak "Doa" sebagai ekspresi penyerahdiriannya kepada Tuhan. Ia berseru: Tuhanku/Dalam termangu/Aku masih menyebut nama-Mu/Biar susah sungguh/mengingat Kau penuh seluruh/caya-Mu panas suci/tinggal kerdip lilin di malam sunyi/Tuhanku/aku hilang bentuk/remuk/ Tuhanku/aku mengembara di negeri asing/Tuhanku/di pintu-Mu mengetuk/ aku tidak bisa berpaling.
Dalam sajak ini Chairil memang tidak menjelaskan apa alasan ia "menyerah", namun yang pasti ia merasa hilang bentuk dan remuk ketika dia berjalan tanpa Tuhan.
Apakah dengan sajak ini Chairil telah "menemukan kembali" Tuhan?
Jawaban sementara: "ya". Agaknya bila Chairil tiba pada suatu titik kehidupan di mana dia mengambil suatu sikap secara lebih utuh, maka perasaan tenang datang meneduhinya.
Pada Februari 1947, dalam suasana yang sudah berbeda, Chairil kembali menulis sajak tentang agama, yang berjudul "Sorga". Di sini, dengan semangat eksistensialismenya yang kental, ia menggugat surga beserta gambarannya yang dijanjikan agama. Selanjutnya Chairil lebih memilih menolak agama karena agama memintanya untuk mengorbankan apa yang nyata sekarang, untuk digantikan sesuatu pada masa datang yang baginya belum pasti.
Maka bisa dipastikan, sesudah sikapnya ini Chairil kembali menemukan dirinya kesepian. Namun, perasaan itu tampaknya sudah dia harapkan dan dia hadapi dengan tenang. Ia kembali memilih menjadi pengembara selama hidupnya.
Meskipun, konon menurut kesaksian H.B. Jassin, menjelang mengembuskan nafasnya yang terakhir, Chairil ternyata tetap tidak lupa menyebut nama Tuhan.
Di
sela-sela panas badannya yang tinggi sebelum kematiannya, ia mengucap, Tuhanku,
Tuhanku....
Gadis-Gadis Pun Memujanya
Teman
dekat Chairil Anwar semasa kecil, Sjamsulridwan, pernah menulis di majalah
Mimbar Indonesia, edisi Maret-April 1966. Katanya, salah satu sikap Chairil
yang menonjol sejak kecil adalah sifatnya yang pantang kalah.
"Keinginan, hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap menyala-nyala, dan boleh dikatakan tidak pernah diam."
"Keinginan, hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap menyala-nyala, dan boleh dikatakan tidak pernah diam."
Chairil
dilahirkan di Medan, Sumatera Utara, pada 22 Juli 1922. Ayahnya, Toeloes,
berasal dari Payakumbuh (Sumatera Barat). Dia menjadi Pamongpraja di Medan, dan
pada zaman revolusi sempat menjadi bupati Indragiri, Karesidenan Riau. Sedang
ibunya, Saleha, berasal dari Koto Gadang (Sumatera Barat) dan masih mempunyai
pertalian keluarga dengan ayah Sutan Syahrir (tokoh PSI).
Menurut Sjamsulridwan, meski cukup terpandang dan disegani masyarakat sekitarnya, kehidupan kedua orangtua Chairil senantiasa ribut. Mereka sama-sama galak, sama-sama keras hati, dan sama-sama tidak mau mengalah.
Menurut Sjamsulridwan, meski cukup terpandang dan disegani masyarakat sekitarnya, kehidupan kedua orangtua Chairil senantiasa ribut. Mereka sama-sama galak, sama-sama keras hati, dan sama-sama tidak mau mengalah.
Hanya
dalam satu hal mereka sama: dua-duanya sangat memanjakan Chairil. Segala
keinginannya: mainan-mainan terbaru dan terbaik. Mereka pun selalu membenarkan
sikap Chairil. Kalau ia berkelahi, ayahnya senantiasa membela. Bahkan kalau
perlu ikut berkelahi.
Di luar rumah, Chairil tumbuh menjadi pemuda yang lincah dan penuh percaya diri. Di samping karena kedudukan ayahnya, otak yang tajam dan cerdas serta sifatnya yang terbuka, tidak mengenal takut atau malu-malu, membuat ia dikenal dan menjadi kesayangan banyak pihak, baik di kalangan guru maupun di antara teman-temannya.
Di luar rumah, Chairil tumbuh menjadi pemuda yang lincah dan penuh percaya diri. Di samping karena kedudukan ayahnya, otak yang tajam dan cerdas serta sifatnya yang terbuka, tidak mengenal takut atau malu-malu, membuat ia dikenal dan menjadi kesayangan banyak pihak, baik di kalangan guru maupun di antara teman-temannya.
Di
kalangan gadis-gadis, Chairil juga disukai karena wajahnya yang tampan dan
menyerupai orang indo.
Demikianlah, semua orang seolah memanjakannya. Keuangannya tidak pernah kurang. Sepedanya termasuk golongan yang paling baik, di zaman ketika mempunyai sepeda saja merupakan suatu kebanggaan. Dan ada sisi baik yang bisa dicatat dari gaya pergaulan Chairil, yaitu sikapnya tidak pernah sombong.
Demikianlah, semua orang seolah memanjakannya. Keuangannya tidak pernah kurang. Sepedanya termasuk golongan yang paling baik, di zaman ketika mempunyai sepeda saja merupakan suatu kebanggaan. Dan ada sisi baik yang bisa dicatat dari gaya pergaulan Chairil, yaitu sikapnya tidak pernah sombong.
Meskipun
dia angkuh dan selalu merasa hebat, dia selalu mudah sekali berkenalan dengan
siapa saja, tanpa pernah membedakan status sosial, status ekonomi, dan
intelektualitas.
Masa kanak-kanak hingga masa remaja Chairil dihabiskan di Medan.
Di HIS (setingkat SD) saja ia sudah menampakkan bakatnya sebagai siswa yang cerdas dan berbakat menulis. Lalu ia melanjutkan sekolahnya di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, setingkat SMP).
Masa kanak-kanak hingga masa remaja Chairil dihabiskan di Medan.
Di HIS (setingkat SD) saja ia sudah menampakkan bakatnya sebagai siswa yang cerdas dan berbakat menulis. Lalu ia melanjutkan sekolahnya di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, setingkat SMP).
Ketika
usia Chairil menginjak 19 tahun, dan duduk di kelas dua, ayahnya kawin
lagi dan bercerai dengan ibunya. Karena mulai membenci ayahnya dan menginginkan
kehidupan yang lain, ia memilih hijrah ke Batavia (Jakarta), dan meneruskan
pendidikannya di sana.
Tak lama kemudian ibunya menyusul ke Jakarta. Perang Dunia II dan masuknya Jepang telah membuat keadaan jadi tidak menentu. Chairil pun terbelit masalah keuangan setelah tidak mendapat kiriman dari ayahnya.
Akhirnya ia putus sekolah. Saat putus sekolah itu Chairil mengisi hidupnya dengan menggelandang ke sana-ke mari, dan membaca buku sebanyak-banyaknya. Sebagai orang yang menguasai tiga bahasa (Inggris, Belanda, dan Jerman), ia tidak mendapat halangan apa pun untuk bisa membaca dan memahami semua karya sastra asing yang ia jumpai.
Tak lama kemudian ibunya menyusul ke Jakarta. Perang Dunia II dan masuknya Jepang telah membuat keadaan jadi tidak menentu. Chairil pun terbelit masalah keuangan setelah tidak mendapat kiriman dari ayahnya.
Akhirnya ia putus sekolah. Saat putus sekolah itu Chairil mengisi hidupnya dengan menggelandang ke sana-ke mari, dan membaca buku sebanyak-banyaknya. Sebagai orang yang menguasai tiga bahasa (Inggris, Belanda, dan Jerman), ia tidak mendapat halangan apa pun untuk bisa membaca dan memahami semua karya sastra asing yang ia jumpai.
Penguasaan
bahasa asing yang baik inilah yang banyak menolong Chairil sehingga banyak buku
yang belum dibaca seniman lain, ia sudah tahu isinya. Ia pun banyak menyadur
dan menerjemahkan karya-karya sastra dunia itu ke bahasa Indonesia dengan
baik.
Masih soal membaca, menurut Sjamsulridwan, ketika masih di MULO, Chairil telah bergaul dengan anak-anak HBS (setingkat SMA) tanpa rendah diri.
"Semua buku mereka aku baca," kata Chairil suatu hari. Di sini yang dimaksud Chairil adalah buku-buku mengenai pelajaran abstrak, seperti sastra, sejarah, ekonomi, dan lain-lain. Dan ucapan itu semata-mata untuk menunjukkan bahwa ia tidak pernah kurang dari mereka (anak-anak HBS).
Masih soal membaca, menurut Sjamsulridwan, ketika masih di MULO, Chairil telah bergaul dengan anak-anak HBS (setingkat SMA) tanpa rendah diri.
"Semua buku mereka aku baca," kata Chairil suatu hari. Di sini yang dimaksud Chairil adalah buku-buku mengenai pelajaran abstrak, seperti sastra, sejarah, ekonomi, dan lain-lain. Dan ucapan itu semata-mata untuk menunjukkan bahwa ia tidak pernah kurang dari mereka (anak-anak HBS).
Selama
di Jakarta, Chairil juga mengembangkan pengetahuannya dengan meminjam buku dari
pamannya, Sutan Sjahrir. Menurut H.B. Jassin, kalu sudah membaca buku, maka
buku itu akan dibacanya dari malam sampai menjelang pagi.
Meskipun menganut pola kehidupan yang bohemian, Chairil akhirnya sempat juga berkeluarga. Ia menikah dengan Hapsah Wiraredja pada 6 Agustus 1946. Sayangnya rumah tangga mereka tidak bertahan lama. Akhir 1948 mereka bercerai, dan putri tunggal mereka, Evawani Alissa, dibesarkan Hapsah.
Tanggal 28 April 1949, setelah sempat diopname selama lima hari di CBZ (sekarang RSCM) karena penyakit TBC yang dideritanya, Chairil mengembuskan nafas terakhir.
Meskipun menganut pola kehidupan yang bohemian, Chairil akhirnya sempat juga berkeluarga. Ia menikah dengan Hapsah Wiraredja pada 6 Agustus 1946. Sayangnya rumah tangga mereka tidak bertahan lama. Akhir 1948 mereka bercerai, dan putri tunggal mereka, Evawani Alissa, dibesarkan Hapsah.
Tanggal 28 April 1949, setelah sempat diopname selama lima hari di CBZ (sekarang RSCM) karena penyakit TBC yang dideritanya, Chairil mengembuskan nafas terakhir.
Ia
meninggalkan warisan karya yang tidak begitu banyak, yaitu 70 puisi asli, 4
puisi saduran, 10 puisi terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan.
Kepada Evawani, putrinya yang masih berumur satu tahun, Chairil bahkan hanya
mewariskan sebuah radio kecil, berbentuk kotak warna hitam, bermerek Philips.
Dan seperti memenuhi pesan profetik dalam salah satu bait puisinya: "di
karet, di karet sampai juga/deru angin", Chairil dimakamkan di Pemakaman
Karet pada hari berikutnya.
- dari SUARA MERDEKA , Jumat, 14 Mei 1999
bagaimana untuk analisis saya kang yang sudah saya bangun sampai saat ini, http://contoh-analisis-puisi.blogspot.com/2014/09/analisis-puisi-o-karya-sutardji-calzoum.html......terimaksih untuk saran dan masukannya,,, bolehlah kita saling bertukar pendapat melalui sebuah media
ReplyDeleteYa terimakasih gan.
Deleteboleh boleh saja. selama aku mampu aku akan berusah untuk memberi pendapat yang terbaik.
tetapi bila aku tidak mampu ya mohon maaf gan
terimakasih atas kunjungannya