FILSAFAT PANCASILA
DILIHAT DARI KAJIAN ONTOLOGIS, EPISTEMOLOGIS, DAN AKSIOLOGI
SEBAGAI DASAR PEMIKIRAN
SEBAGAI DASAR PEMIKIRAN MODERN BANGSA INDONESIA
Logo UNARS |
SEBAGAI DASAR PEMIKIRAN MODERN BANGSA INDONESIA
MAKALAH
Dibuat dan di susun sebagai salah satu tugas dalam
menempuh
Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Modern di Fakultas Sastra
Universitas Abdurrahman Saleh Situbondo
Oleh :
Dosen Pembimbing
Drs.Hari
Susanto
Fakultas Sastra
UNIVERSITAS ABDURACHMAN SALEH SITUBONDO
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai dasar negara, Pancasila
kembali diuji ketahanannya dalam era reformasi sekarang. Merekahnya matahari
bulan Juni 1945, 63 tahun yang lalu disambut dengan lahirnya sebuah konsepsi
kenegaraan yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, yaitu lahirnya
Pancasila.
Sebagai falsafah negara, tentu
Pancasila ada yang merumuskannya. Pancasila memang merupakan karunia terbesar
dari Allah SWT dan ternyata merupakan light-star bagi segenap bangsa Indonesia
di masa-masa selanjutnya, baik sebagai pedoman dalam memperjuangkan
kemerdekaan, juga sebagai alat pemersatu dalam hidup kerukunan berbangsa, serta
sebagai pandangan hidup untuk kehidupan manusia Indonesia sehari-hari, dan yang
jelas tadi telah diungkapkan sebagai dasar serta falsafah negara Republik
Indonesia.
Pancasila telah ada dalam segala
bentuk kehidupan rakyat Indonesia, terkecuali bagi mereka yang tidak
Pancasilais. Pancasila lahir 1 Juni 1945, ditetapkan pada 18 Agustus 1945
bersama-sama dengan UUD 1945. Bunyi dan ucapan Pancasila yang benar berdasarkan
Inpres Nomor 12 tahun 1968 adalah satu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dua,
Kemanusiaan yang adil dan beradab. Tiga, Persatuan Indonesia. Empat, Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dan
kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Setiap bangsa dan negara yang ingin
berdiri kokoh kuat, tidak mudah terombang-ambing oleh kerasnya persoalan hidup
berbangsa dan bernegara, sudah barang tentu perlu memiliki dasar negara dan
ideologi negara yang kokoh dan kuat pula. Tanpa itu, maka bangsa dan negara
akan rapuh.
Mempelajari Pancasila lebih dalam
menjadikan kita sadar sebagai bangsa Indonesia yang memiliki jati diri dan
harus diwujudkan dalam pergaulan hidup sehari-hari untuk menunjukkan identitas
bangsa yang lebih bermartabat dan berbudaya tinggi.
Nilai-nilai Pancasila
sebagai sumber acuan dalam menyusun etika kehidupan berbangsa bagi seluruh
rakyat Indonesia, maka Pancasila juga sebagai paradigm pembangunan, maksudnya
sebagai kerangka pikir, sumber nilai, orientasi dasar, sumber asas serta arah dan tujuan dari suatu perkembangan
perubahan serta proses dalam suatu bidang
tertentu. Pancasila sebagai paradigma
pembangunan mempunyai arti bahwa Pancasila
sebagai sumber nilai, sebagai dasar, arah dan tujuan
dari proses pembangunan. Untuk itu segala aspek dalam
pembangunan nasional harus mendasarkan pada hakikat nilai-nilai sila-sila
Pancasila dengan mewujudkan peningkatan harkat dan martabat manusia secara
konsisten berdasarkan pada nilai-nilai hakikat kodrat manusia.
Dalam berbagai sudut
pandang mengenai teori pancasila tidak dapat dielakkan lagi bahwa pancasila
merupakan pandangan hidup bangsa indonesia, maka penulis merujuk pada kajian
antologis, epistemologis, dan aksiologi pancasila dalam menyusun beberapa kalimat
yang tingkat relevansinya mencapai topik makalah yang akan dibuat.
1.2 Manfaat
Manfaat dari pembuatan makalah yang
berjudul tentang kajian antologis, epistemologi, dan aksiologi pancasila adalah
sebagai sumber referensi khasanah keilmuwan dan pemahaman kita sebagai warga
negara tentang ideologi dasar negara kita.
Manfaat
lebih lanjut dari makalah ini adalah:
1.
Mahasiswa
dapat menambah pengetahuan tentang Pancasila dari aspek filsafat.
2.
Mahasiswa
dapat mengetahui landasan filosofis Pancasila.
3.
Mahasiswa
dapat mengetahui fungsi utama filsafat Pancasila bagi bangsa dan negara
Indonesia.
4.
Mahasiswa
dapat mengetahui bukti bahwa falsafah Pancasila dijadikan sebagai dasar
falsafah negara Indonesia.
1.3 Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini
yaitu untuk mengetahui inti atau pokok kajian ontologis, epistemologi, dan
aksiologi pancasila serta pengaruhnya kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sehingga kita bisa lebih mengetahui tentang makna yang terkandung dalam
Pancasila. Dengan makalah ini semoga kita bisa memupuk rasa nasionalisme kita
sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Adapun tujuan
yang lebih spesifik adalah:
1. Mahasiswa
memahami konsep filsafat.
2. Mahasiswa memahami
pancasila sebagai sistem filsafat.
3. Mahasiswa
memahami pancasila sebagai ideologi dan dasar kehidupan berbangsa dan
bernegara.
4. Mahasiswa memahami makna nilai-nilai
pancasila.
BAB II
PERMASALAHAN
PERMASALAHAN
Istilah filsafat sudah
tidak asing lagi di dengar, istilah ini dipergunakan dalam berbagai konteks
tapi kita harus tahu dulu apa itu filsafat dan fungsi filsafat serta kegunaan
filsafat. Dengan uraian yang singkat ini kami mengharapkan agar timbul kesan
pada diri kita bahwa filsafat adalah suatu yang tidak sukar dan dapat di
pelajari oleh semua orang, di samping itu kami mengharapkan agar kita tak
beranggapan filsafat sebagai suatu hasil potensi belaka dan tidak berpijak
realita. Dengan ini kami berharap semoga kita dapat menggunakannya sebagai
modal untuk memepelajari pancasila dari sudut pandang filsafat. Agar setiap
orang yang belum mengetahui tentang pancasila dari sudut falsafat dapat
mengerti tentang makna Pancasila yang sebenarnya.
Kita harus mengetahui
unsur – unsur pancasila yang menjiwai antara satu sila dengan sila yang
lainnya. Pancasila juga mewakili cita-cita luhur bangsa Indonesia untuk
menjadikan Indonesia sebagai Negara yang berketuhanan, berprikemanusiaan,
bersatu, mensejahterakan rakyat, dan adil. Bangsa Indonesia mengetahui dan
teliti dengan seksama maka unsur – unsur pancasila merupakan semangat dan jiwa
perjuangan tersebut kita harus menganalisa dalam pembahasan seperti:
1. Makna ketuhanan dalam Pancasila
1. Makna ketuhanan dalam Pancasila
2.
Makna kemanusiaan dalam Pancasila.
3.
Makna persatuan dalam Pancasila.
4. Makna kerakyatan tentang kebebasan untuk
mendapatkan pendidikan.
5. Makna yang terakhir yaitu keadilan
tentang mendapatkan kebutuhan kebebasan
hak dan melaksanakan kewajiban.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian Filsafat Pancasila
Pancasila dikenal sebagai filosofi
Indonesia. Kenyataannya definisi filsafat dalam filsafat Pancasila telah diubah
dan diinterpretasi berbeda oleh beberapa filsuf Indonesia. Pancasila dijadikan
wacana sejak 1945. Filsafat Pancasila senantiasa diperbarui sesuai dengan “permintaan”
rezim yang berkuasa, sehingga Pancasila berbeda dari waktu ke waktu.
- Filsafat Pancasila Asli
Pancasila merupakan
konsep adaptif filsafat Barat. Hal ini merujuk pidato Sukarno di BPUPKI dan
banyak pendiri bangsa merupakan alumni Universitas di Eropa, di mana filsafat
barat merupakan salah satu materi kuliah mereka. Pancasila terinspirasi konsep
humanisme, rasionalisme, universalisme, sosiodemokrasi, sosialisme Jerman,
demokrasi parlementer, dan nasionalisme.
- Filsafat Pancasila versi
Soekarno
Filsafat Pancasila
kemudian dikembangkan oleh Sukarno sejak 1955 sampai berakhirnya kekuasaannya
(1965). Pada saat itu Sukarno selalu menyatakan bahwa Pancasila merupakan
filsafat asli Indonesia yang diambil dari budaya dan tradisi Indonesia dan
akulturasi budaya India (Hindu-Budha), Barat (Kristen), dan Arab (Islam).
Menurut Sukarno “Ketuhanan” adalah asli berasal dari Indonesia, “Keadilan
Soasial” terinspirasi dari konsep Ratu Adil. Sukarno tidak pernah menyinggung
atau mempropagandakan “Persatuan”.
- Filsafat Pancasila versi
Soeharto
Oleh Suharto filsafat
Pancasila mengalami Indonesiasi. Melalui filsuf-filsuf yang disponsori
Depdikbud, semua elemen Barat disingkirkan dan diganti interpretasinya dalam
budaya Indonesia, sehingga menghasilkan “Pancasila truly Indonesia”. Semua sila
dalam Pancasila adalah asli Indonesia dan Pancasila dijabarkan menjadi lebih
rinci (butir-butir Pancasila). Filsuf Indonesia yang bekerja dan mempromosikan
bahwa filsafat Pancasila adalah truly Indonesia antara lain Sunoto, R. Parmono,
Gerson W. Bawengan, Wasito Poespoprodjo, Burhanuddin Salam, Bambang Daroeso,
Paulus Wahana, Azhary, Suhadi, Kaelan, Moertono, Soerjanto Poespowardojo, dan
Moerdiono.
Berdasarkan penjelasan diatas
maka pengertian filsafat Pancasila secara umum adalah hasil berpikir/pemikiran
yang sedalam-dalamnya dari bangsa Indonesia yang dianggap, dipercaya dan
diyakini sebagai sesuatu (kenyataan, norma-norma, nilai-nilai) yang paling
benar, paling adil, paling bijaksana, paling baik dan paling sesuai bagi bangsa
Indonesia.
Selanjutnya filsafat
Pancasila mengukur adanya kebenran yang bermacam-macam dan bertingkat-tingkat
sebgai berikut:
1. Kebenaran indra (pengetahuan biasa);
2. Kebenaran ilmiah (ilmu-ilmu
pengetahuan);
3. Kebenaran filosofis (filsafat);
4. Kebenaran religius (religi).
Untuk lebih meyakinkan bahwa
Pancasila itu adalah ajaran filsafat, sebaiknya kita kutip ceramah Mr.Moh Yamin
pada Seminar Pancasila di Yogyakarta tahun 1959 yang berjudul “Tinjauan
Pancasila Terhadap Revolusi Fungsional”, yang isinya anatara lain sebagai
berikut:
Tinjauan Pancasila
adalah tersusun secara harmonis dalam suatu sistem filsafat. Marilah kita
peringatkan secara ringkas bahwa ajaran Pancasila itu dapat kita tinjau menurut
ahli filsafat ulung, yaitu Friedrich Hegel (1770-1831) bapak dari filsafat
Evolusi Kebendaan seperti diajarkan oleh Karl Marx (1818-1883) dan menurut
tinjauan Evolusi Kehewanan menurut Darwin Haeckel, serta juga bersangkut paut
dengan filsafat kerohanian seperti diajarkan oleh Immanuel Kant (1724-1804).
Menurut Hegel hakikat
filsafatnya ialah suatu sintese pikiran yang lahir dari antitese pikiran. Dari
pertentangan pikiran lahirlah paduan pendapat yang harmonis. Dan ini adalah
tepat. Begitu pula denga ajaran Pancasila suatu sintese negara yang lahir dari
antitese.
3.2 Kajian Ontologis
Secara ontologis,
Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui hakikat
dasar dari sila-sila Pancasila. Pancasila terdiri atas lima sila memiliki satu
kesatuan dasar ontologis maksudnya setiap sila bukan merupakan asas yang berdiri
sendiri-sendiri.
Manusia merupakan
pendukung pokok dari sila-sila Pancasila. Maksudnya pada hakikatnya manusia
memiliki hakikat mutlak yaitu monopluralis, atau monodualis sebagai
dasar ontologis Pancasila.
Kesesuaian hubungan
negara dengan landasan sila-sila Pancasila adalah berupa hubungan sebab-akibat.
Yaitu sebagai berikut :
·
Negara
sebagai pendukung hubungan, sedangkan Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan
adil sebagai pokok pangkal hubungan.
·
Landasan
sila-sila Pancasila yaitu Tuhan, manusia, satu, rakyat dan adil adalah sebagai
sebab, dan negara adalah sebagai akibat.
Ontologi ialah
penyelidikan hakikat ada (esensi) dan keberadaan (eksistensi) segala sesuatu:
alam semesta, fisik, psikis, spiritual, metafisik, termasuk kehidupan sesudah
mati, dan Tuhan. Ontologi Pancasila mengandung azas dan nilai antara lain:
·
Tuhan
yang Maha Esa adalah sumber eksistensi kesemestaan. Ontologi ketuhanan bersifat
religius, supranatural, transendental dan suprarasional;
- Ada – kesemestaan, alam semesta
(makrokosmos) sebagai ada tak terbatas, dengan wujud dan hukum alam,
sumber daya alam yang merupakan prwahana dan sumber kehidupan semua
makhluk: bumi, matahari, zat asam, air, tanah subur, pertambangan, dan
sebagainya;
- Eksistensi subyek/ pribadi manusia:
individual, suku, nasional, umat manusia (universal). Manusia adalah
subyek unik dan mandiri baik personal maupun nasional, merdeka dan
berdaulat. Subyek pribadi mengemban identitas unik: menghayati hak dan
kewajiban dalam kebersamaan dan kesemestaan (sosial-horisontal dengan alam
dan sesama manusia), sekaligus secara sosial-vertikal universal dengan
Tuhan. Pribadi manusia bersifat utuh dan unik dengan potensi
jasmani-rohani, karya dan kebajikan sebagai pengemban amanat keagamaan;
- Eksistensi tata budaya, sebagai
perwujudan martabat dan kepribadian manusia yang unggul. Baik kebudayaan
nasional maupun universal adalah perwujudan martabat dan kepribadian
manusia: sistem nilai, sistem kelembagaan hidup seperti keluarga,
masyarakat, organisasi, negara. Eksistensi kultural dan peradaban
perwujudan teleologis manusia: hidup dengan motivasi dan cita-cita
sehingga kreatif, produktif, etis, berkebajikan;
- Eksistensi bangsa-negara yang
berwujud sistem nasional, sistem kenegaraan yang merdeka dan berdaulat,
yang menampilkan martabat, kepribadian dan kewibawaan nasional. Sistem
kenegaraan yang merdeka dan berdaulat merupakan puncak prestasi perjuangan
bangsa, pusat kesetiaan, dan kebanggaan nasional
3.3 Kajian Epistemologis
Epistemologi adalah
cabang filsafat yang menyelidiki asal, syarat, susunan, metode, ilmu
pengetahuan. Epistemologi meneliti sumber pengetahuan, proses dan syarat
terjadinya pengetahuan, batas ilmu pengetahuan.
Menurut Titus (1984 :
20) terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi, yaitu:
· Tentang sumber pengetahuan manusia
· Tentang teori kebenaran pengetahuan manusia
· Tentang watak pengetahuan manusia
Secara epistemologis
Pancasila sebagai filsafat yaitu sebagai upaya untuk mencari hakikat Pancasila
sebagai suatu sistem pengetahuan.
Sumber pengetahuan
Pancasila adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri. Sedangkan
susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan yaitu Pancasila
memiliki susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti susunan sila-sila
Pancasila maupun isi arti dari sila-sila Pancasila itu.
Sebagai suatu paham
epistemologi, maka Pancasila mendasarkan pada pandangannya bahwa ilmu
pengetahuan tidak bebas nilai dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan
pengetahuan yang mutlak dalam hidup manusia.
Epistemologi menyelidiki
sumber, proses, syarat-syarat batas, validitas dan hakikat ilmu. Epistemologi
Pancasila secara mendasar meliputi nilai-nilai dan azas-azas:
Mahasumber ialah Tuhan,
yang menciptakan kepribadian manusia dengan martabat dan potensi unik yang
tinggi, menghayati kesemestaan, nilai agama dan ketuhanan. Kepribadian manusia
sebagai subyek diberkati dengan martabat luhur: pancaindra, akal, rasa, karsa,
cipta, karya dan budi nurani. Kemampuan martabat manusia sesungguhnya adalah
anugerah dan amanat ketuhanan/ keagamaan.
Sumber pengetahuan
dibedakan dibedakan secara kualitatif, antara:
- Sumber primer, yang
tertinggi dan terluas, orisinal: lingkungan alam, semesta, sosio-budaya,
sistem kenegaraan dan dengan dinamikanya;
- Sumber sekunder:
bidang-bidang ilmu yang sudah ada/ berkembang, kepustakaan, dokumentasi;
- Sumber tersier:
cendekiawan, ilmuwan, ahli, narasumber, guru.
Wujud dan tingkatan
pengetahuan dibedakan secara hierarkis:
- Pengetahuan
indrawi;
- Pengetahuan ilmiah;
- Pengetahuan
filosofis;
- Pengetahuan
religius.
Pengetahuan manusia
relatif mencakup keempat wujud tingkatan itu. Ilmu adalah perbendaharaan dan
prestasi individual maupun sebagai karya dan warisan budaya umat manusia
merupakan kualitas martabat kepribadian manusia. Perwujudannya adalah
pemanfaatan ilmu guna kesejahteraan manusia, martabat luhur dan kebajikan para
cendekiawan (kreatif, sabar, tekun, rendah hati, bijaksana). Ilmu membentuk
kepribadian mandiri dan matang serta meningkatkan harkat martabat pribadi
secara lahiriah, sosial (sikap dalam pergaulan), psikis (sabar, rendah hati,
bijaksana). Ilmu menjadi kualitas kepribadian, termasuk kegairahan, keuletan
untuk berkreasi dan berkarya.
Martabat kepribadian
manusia dengan potensi uniknya memampukan manusia untuk menghayati alam
metafisik jauh di balik alam dan kehidupan, memiliki wawasan kesejarahan (masa
lampau, kini dan masa depan), wawasan ruang (negara, alam semesta), bahkan
secara suprarasional menghayati Tuhan yang supranatural dengan kehidupan abadi
sesudah mati. Pengetahuan menyeluruh ini adalah perwujudan kesadaran
filosofis-religius, yang menentukan derajat kepribadian manusia yang luhur.
Berilmu/ berpengetahuan berarti mengakui ketidaktahuan dan keterbatasan manusia
dalam menjangkau dunia suprarasional dan supranatural. Tahu secara ‘melampaui
tapal batas’ ilmiah dan filosofis itu justru menghadirkan keyakinan religius
yang dianut seutuh kepribadian: mengakui keterbatasan pengetahuan
ilmiah-rasional adalah kesadaran rohaniah tertinggi yang membahagiakan.
3.4 Kajian Aksiologi
Aksiologi adalah teori
nilai, yaitu sesuatu yang diinginkan, disukai atau yang baik. Sila-sila
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar
aksiologis, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya
juga merupakan suatu kesatuan. Aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita
membahas tentang filsafat nilai Pancasila.
Dalam filsafat
Pancasila, terdapat tiga tingkatan nilai, yaitu nilai dasar, nilai instrumental,
dan nilai praktis.
·
Nilai-nilai
dasar dari Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai
persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan.
·
Nilai
instrumental, adalah nilai yang berbentuk norma sosial dan norma hukum yang
selanjutnya akan terkristalisasi dalam peraturan dan mekanisme lembaga-lembaga
negara.
·
Nilai
praktis, adalah nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan. Nilai
ini merupakan batu ujian apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu
benar-benar hidup dalam masyarakat.
Nilai-nilai dalam
Pancasila termasuk nilai etik atau nilai moral merupakan nilai dasar yang
mendasari nilai intrumental dan selanjutnya mendasari semua aktivitas kehidupan
masyarakat, berbansa, dan bernegara.
Secara aksiologis,
bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subscriber of
value Pancasila), yaitu bangsa yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang
berpersatuan, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial.
Aksiologi menyelidiki
pengertian, jenis, tingkatan, sumber dan hakikat nilai secara kesemestaan.
Aksiologi Pancasila pada hakikatnya sejiwa dengan ontologi dan epistemologinya.
Pokok-pokok aksiologi itu dapat disarikan sebagai berikut:
- Tuhan yang Maha Esa
sebagai mahasumber nilai, pencipta alam semesta dan segala isi beserta
antarhubungannya, termasuk hukum alam. Nilai dan hukum moral mengikat
manusia secara psikologis-spiritual: akal dan budi nurani, obyektif mutlak
menurut ruang dan waktu secara universal. Hukum alam dan hukum moral merupakan
pengendalian semesta dan kemanusiaan yang menjamin multieksistensi demi
keharmonisan dan kelestarian hidup.
- Subyek manusia
dapat membedakan hakikat mahasumber dan sumber nilai dalam perwujudan
Tuhan yang mahaesa, pencipta alam semesta, asal dan tujuan hidup manusia (sangkan
paraning dumadi, secara individual maupun sosial).
- Nilai-nilai dalam
kesadaran manusia dan dalam realitas alam semesta yang meliputi: Tuhan
yang mahaesa dengan perwujudan nilai agama yang diwahyukan-Nya, alam
semesta dengan berbagai unsur yang menjamin kehidupan setiap makhluk dalam
antar hubungan yang harmonis, subyek manusia yang bernilai bagi dirinya
sendiri (kesehatan, kebahagiaan, etc.) beserta aneka kewajibannya.
Cinta kepada keluarga dan sesama adalah kebahagiaan sosial dan psikologis
yang tak ternilai. Demikian pula dengan ilmu, pengetahuan, sosio-budaya
umat manusia yang membentuk sistem nilai dalam peradaban manusia menurut
tempat dan zamannya.
- Manusia dengan
potensi martabatnya menduduki fungsi ganda dalam hubungan dengan berbagai
nilai: manusia sebagai pengamal nilai atau ‘konsumen’ nilai yang
bertanggung jawab atas norma-norma penggunaannya dalam kehidupan bersama
sesamanya, manusia sebagai pencipta nilai dengan karya dan prestasi
individual maupun sosial (ia adalah subyek budaya). “Man created
everything from something to be something else, God created everything
from nothing to be everything.” Dalam keterbatasannya, manusia adalah
prokreator bersama Allah.
- Martabat
kepribadian manusia secara potensial-integritas bertumbuhkembang dari
hakikat manusia sebagai makhluk individu-sosial-moral: berhikmat
kebijaksanaan, tulus dan rendah hati, cinta keadilan dan kebenaran, karya
dan darma bakti, amal kebajikan bagi sesama.
- Manusia dengan
potensi martabatnya yang luhur dianugerahi akal budi dan nurani sehingga
memiliki kemampuan untuk beriman kepada Tuhan yang mahaesa menurut agama
dan kepercayaan masing-masing. Tuhan dan nilai agama secara filosofis
bersifat metafisik, supernatural dan supranatural. Maka potensi martabat
manusia yang luhur itu bersifat apriori: diciptakan Tuhan dengan identitas
martabat yang unik: secara sadar mencintai keadilan dan kebenaran,
kebaikan dan kebajikan. Cinta kasih adalah produk manusia – identitas
utama akal budi dan nuraninya – melalui sikap dan karyanya.
- Manusia sebagai
subyek nilai memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap pendayagunaan
nilai, mewariskan dan melestarikan nilai dalam kehidupan. Hakikat
kebenaran ialah cinta kasih, dan hakikat ketidakbenaran adalah kebencian
(dalam aneka wujudnya: dendam, permusuhan, perang, etc.).
- Eksistensi
fungsional manusia ialah subyek dan kesadarannya. Kesadaran berwujud dalam
dunia indra, ilmu, filsafat (kebudayaan/ peradaban, etika dan nilai-nilai
ideologis) maupun nilai-nilai supranatural.
Skema pola antarhubungan
sosial manusia meliputi:
1. Hubungan
sosial-horisontal, yakni antar hubungan pribadi manusia (P) dalam antar hubungan
dan antar aksinya hingga yang terluas yaitu hubungan antar bangsa (A2-P-B2);
2. Hubungan sosial-vertikal
antara pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa (C: Causa Prima)
menurut keyakinan dan agama masing-masing (garis PC).
- kualitas hubungan
sosial-vertikal (garis PC) menentukan kualitas hubungan sosial horisontal
(garis APB);
- kebaikan sesama
manusia bersumber dan didasarkan pada motivasi keyakinan terhadap
Ketuhanan Yang Maha Esa;
- kadar/ kualitas
antarhubungan itu ialah: garis APB ditentukan panjangnya oleh garis PC.
Tegasnya, garis PC1 akan menghasilkan garis A1PB1
dan PC2 menghasilkan garis A2PB2. Jadi,
kualitas kesadaran akan Ketuhanan yang mahaesa menentukan kualitas
kesadaran kemanusiaan.
Seluruh kesadaran
manusia tentang nilai tercermin dalam kepribadian dan tindakannya. Sumber nilai
dan kebajikan bukan saja kesadaran akan Ketuhanan yang mahaesa, tetapi juga adanya
potensi intrinsik dalam kepribadian, yakni: potensi cinta kasih sebagai
perwujudan akal budi dan nurani manusia (berupa kebajikan). Azas dan usaha
manusia guna semakin mendekati sifat-sifat kepribadiannya adalah cinta sesama.
Nilai cinta inilah yang menjadi sumber energi bagi darma bakti dan
pengabdiannya untuk selalu berusaha melakukan kebajikan-kebajikan. Azas
normatif ini bersifat ontologis pula, karena sifat dan potensi pribadi manusia
berkembang dari potensialitas menuju aktualitas, dari real-self menuju ideal-self,
bahkan dari kehidupan dunia menuju kehidupan kekal. Garis menuju perkembangan
teleologis ini pada hakikatnya ialah usaha dan dinamika kepribadian yang
disadari (tidak didasarkan atas motivasi cinta, terutama cinta diri).
Cinta diri cenderung
mengarahkan manusia ke egosentrisme, mengakibatkan ketidakbahagiaan. Kebaikan
dan watak pribadi manusia bersumber pula pada nilai keseimbangan proporsi cinta
pribadi dengan sesama dan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Dengan perkataan lain,
kesejahteraan rohani dan kebahagiaan pribadi manusia yang hakiki ialah
kesadarannya dalam menghayati cinta Tuhan dan hasrat luhurnya mencintai Tuhan
dan sesamanya.
Nilai instrinsik ajaran
filsafat Pancasila sedemikian mendasar, komprehensif, bahkan luhur dan ideal,
meliputi: multi-eksistensial dalam realitas horisontal; dalam hubungan
teleologis; normatif dengan mahasumber kesemestaan (Tuhan dengan ‘ikatan’ hukum
alam dan hukum moral yang psikologis-religius); kesadaran pribadi yang natural,
sosial, spiritual, supranatural dan suprarasional. Penghayatannya pun
multi-eksistensial, bahkan praeksistensi, eksistensi (real-self dan ideal-self),
bahkan demi tujuan akhir pada periode post-existence (demi kehidupan
abadi), menunjukkan wawasan eksistensial yang normatif-ideal.
Secara instrinsik dan
potensial, nilai-nilai Pancasila memenuhi tuntutan hidup manusia karena nilai
filsafat sejatinya adalah untuk menjamin keutuhan kepribadian dan tidak
mengakibatkan konflik kejiwaan maupun dilematika moral. Bersyukurlah kita punya
Pancasila!
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Setelah kami berusaha
untuk menguraikan pembahasan mengenai filsafat pancasila, kami dapat
menyimpulkan bahwa unsur – unsur Pancasila memang telah di miliki dan di
jalankan oleh bangsa Indonesia sejak dahulu. Oleh karena bukti – bukti sejarah
sangat beraneka ragam wujudnya maka perlu diadakan analisa yang seksama. Karena
bukti – bukti sejarah sebagian ada yang berupa symbol maka diperlukan analisa
yang teliti dan tekun berbagai bahan – bahan bukti itu dapat diabstaksikan
sedemikian rupa sehingga diperoleh hasil – hasil yang memadai. Melalui cara –
cara tersebut hasilnya dapat bersifat kritik dan tentu saja ada kemungkinan
yang bersifat spekulatif. Demikian pula ada unsur – unsur yang di suatu daerah
lebih menonjol dari daerah lain misalnya tampak pada perjuangan bangsa
Indonesia dengan peralatan yang sederhana serta tampak pada bangunan dan
tulisan dan perbuatan yang ada.
Demikian makalah yang
kami buat dengan materi pancasila sebagai filsafat, kajian ontologis, epistemologis,
dan aksiologi pancasila dan pancasila sebagai sistemetika politik dan pancasila
sebagai paradigma pembangunan semoga dapat melengkapi tugas Sejarah Pemikiran
Modern, dan dapat bermanfaat bagi yang membacanya.
Tentu kita sadari bahwa
tidak semua materi yang ada dituangkan di halaman makalah ini dan sebaliknya
tidak semua yang tertuang dalam makalah ini akan sesuai dengan pemikiran ahli
yang lain. Hal ini karena semata-mata keterbatasan pembuat makalah.
4.2 Saran
Dalam makalah ini
penulis berkeinginan memberikan saran kepada pembaca dalam pembuatan makalah
ini penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan – kekurangan baik
dari bentuk maupun isinya.
kami menyarankan kepada
pembaca agar ikut peduli dalam mengetahui sejauh mana pembaca mempelajari
tentang filsafat Pancasila
Semoga dengan makalah
ini para pembaca dapat menambah cakrawala ilmu pengetahuan
Pengembangan ilmu
pengetahuan yang berlandaskan Pancasila merupakan bagian penting bagi
keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara di masa mendatang (Pranarka,
1985:391).
Sejak dulu, ilmu
pengetahuan mempunyai posisi penting dalam aktivitas berpikir manusia. Istilah
ilmu pengetahuan terdiri dari dua gabungan kata berbeda makna, ilmu dan
pengetahuan. Segala sesuatu yang kita ketahui merupakan definisi pengetahuan,
sedangkan ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara
sistematis menurut metode tertentu.
Sikap kritis dan cerdas
manusia dalam menanggapi berbagai peristiwa di sekitarnya, berbanding lurus
dengan perkembangan pesat ilmu pengetahuan. Namun dalam perkembangannya, timbul
gejala dehumanisasi atau penurunan derajat manusia. Hal tersebut disebabkan
karena produk yang dihasilkan oleh manusia, baik itu suatu teori mau pun materi
menjadi lebih bernilai ketimbang penggagasnya. Itulah sebabnya, peran Pancasila
harus diperkuat agar bangsa Indonesia tidak terjerumus pada pengembangan ilmu
pengetahuan yang saat ini semakin jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Achmad Notosoetarjo
1962, Kepribadian Revolusi Bangsa
Indonesia
2. A.T. Soegito, 1983, Pancasila Tinjauan dari Aspek Historis, FPIPS – IKIP, Semarang.
3. A.T. Soegito, 1999, Sejarah Pergerakan Bangsa Sebagai Titik Tolak Memahami Asal Mula
Pancasila, Makalah Internship Dosen-Dosen Pancasila se Indonesia,
Yogyakarta.
4. Alhaj dan Patria, 1998.BMP.Pendidikan Pancasila.Penerbit Karunika,Jakarta 4 – 5.
5. Bakry Noor M, 1998, Pancasila Yuridis Kenegaraan, Liberty,
Yogyakarta. Dardji Darmodihardjo, 1978, Santiaji Pancasila, Lapasila, Malang. Harun Nasution, 1983.
6. Filsafat Agama, NV
Bulan Bintang. Jakarta.
9. Kaelan, 1993, Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan, Paradigma, Yogyakarta.
10. K.Wantjik Saleh 1978,Kitab Kumpulan Peraturan Perundang RI,Jakarta PT.Gramedia
11. Notonagoro, Pnacasila
Dasar Filsafat Negara RI I.II.III
12. Notonagoro. 1980. Beberapa Hal Mengenai
Falsafah Pancasila, Cet. 9. Jakarta: Pantjoran Tujuh
13. Soediman
Kartohadiprojo 1970, Beberapa Pikiran
Sekitar Pancasila, Bandung Alumni
14. Salam, H.
Burhanuddin, 1998. Filsafat Pancasilaisme.
Jakarta: Rineka Cipta
0 Response to "FILSAFAT PANCASILA DILIHAT DARI KAJIAN ONTOLOGIS, EPISTEMOLOGIS, DAN AKSIOLOGI SEBAGAI DASAR PEMIKIRAN"
Post a Comment