PERNYATAAN AHOK VS HABIS RIZIEQ MENURUT KAJIAN BAHASA
halaman sebelumnya<<<<
Publik merespon Habib seperti pasien merespon dokternya. Habib dianggap lebih tau dan berilmu dari jamaahnya, memiliki kompetensi untuk membahas Quran, dan mengimaninya. Jamaah percaya yang disampaikan Habib adalah kebaikan. Sementara Ahok bukanlah orang yang diharapkan mengeluarkan komentar berkenaan ayat Quran. Selain tidak mengerti, tidak dapat membaca, dia juga tidak mengimani Al Quran.
Walau Ahok berkata tidak bermaksud menistakan, publik menganggapnya tidak pantas.
Situational Context (Konteks Situasi)
Ahok: Menyampaikan dalam pertemuan kunjungan kerja yang ditujukan untuk mensosialisasikan prestasi kerja / program kerja pemerintah. Secara implisit, menyisipkan pesan kampanye politiknya dengan menyinggung ayat Quran. Disampaikan dalam ruang terbuka, di hadapan pendengar yang majemuk.
Habib: Menyampaikan dalam majelis ilmu, dalam tema yang ditujukan untuk membahas fenomena munculnya ulama yang memelintirkan ayat, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Disampaikan dalam lingkup tertutup (terbatas), di hadapan jamaahnya sendiri.
Ucapan Habib sesuai dengan tema pembahasannya, pada media (waktu dan tempat) yang sesuai. Seperti orang yang tertawa di tengah keriaan; pada tempatnya. Ibarat ucapan dokter yang pedih namun dinilai sebagai kebenaran. Publik meresponnya sebagai peringatan.
Sementara Ahok mengucapkannya tidak pada konteks situasi yang dapat diterima. Publik meresponkan sebagai tuduhan (mereka yang berbohong) dan penistaan (alat kebohongan).
Recipients (Petutur)
Ahok: Penduduk pulau dan pegawai pemda. Pendengar majemuk (beragam agama). Tidak terdapat ikatan yang kuat dan kepercayaan antara pendengar dan pembicara terkait apa yang dituturkan. (Kemudian disebarkan dan mendapat perhatian publik yang lebih luas).
Habib: Jamaahnya sendiri. Pendengar tunggal (kaum muslim). Terdapat ikatan yang kuat dan kepercayaan antara pendengar dan pembicara terkait apa yang dituturkan.
Pada kasus Ahok, pendengar hanya berharap Ahok berbicara terkait agenda kunjungan kerjanya dan tidak berharap Ahok menyinggung ayat Quran dalam pemaparannya. Seperti tamu yang datang berkunjung, mereka tidak berharap tuan rumah mengkritisi penampilannya. Itu dianggap tidak sopan. Sedangkan Habib berhadapan dengan jamaah yang memang datang untuk mendengar tausiyah sesuai tema. Jamaah siap mendengar apapun yang dikatakan Habib. Seperti teman yang memang dengan sadar datang meminta saran, dia akan bersiap dengan penilaian buruk.
“Jadi, subjektif dong?” Benar!
Makna bahasa itu tidak mutlak sama. Jangan karena A berkata hal yang sama seperti B, lantas pendengar dituntut merespon dengan cara yang sama. Jika tidak sama, maka pasti benci dengan salah satunya.
Aaaah, terlalu sempit untuk cepat berprasangka demikian. Coba nikmati kopimu... :D
Tante Julia T Wood, dalam bukunya Interpersonal Communication (2010) berkata “The meanings of language are subjective.”
Because symbols are abstract, ambiguous, and arbitrary; the meaning of words are never self-evident or absolute (Duck, 1994a, 1994b; Shotter, 1993). Kita mengkonstruksi makna dalam proses interaksi dengan orang lain melalui dialog yang mengalir dan tercerna di kepala kita.
Language use is rule-guided! (Wood, 2010). Kalian yang pernah ikuti kelas Bahasa Inggris (saya) tentu paham dengan aturan yang mengatur pengucapan (rules that govern pronunciation / phonology) dan struktur kalimat (sentence structure / syntax). Selain dua aturan tersebut ada aturan komunikasi (communication rules), yang terbagi pemahaman atas apa arti komunikasi dan jenis komunikasi apa yang pantas (sesuai) dalam situasi tertentu.
Kalian yang pernah ikuti kelas Public Relations (saya) tentunya juga lazim dalam menyusun perencanaan komunikasi strategis, kita selalu lebih dulu menganalisa target audience, merancang key messages, menentukan key speaker, dan media yang digunakan untuk menyampaikan pesan (key messages).
Why? Because that all matters!
Jadi, jika ingin >>>halaman selanjutnya
Habib Rizieq vs Ahok |
halaman sebelumnya<<<<
Publik merespon Habib seperti pasien merespon dokternya. Habib dianggap lebih tau dan berilmu dari jamaahnya, memiliki kompetensi untuk membahas Quran, dan mengimaninya. Jamaah percaya yang disampaikan Habib adalah kebaikan. Sementara Ahok bukanlah orang yang diharapkan mengeluarkan komentar berkenaan ayat Quran. Selain tidak mengerti, tidak dapat membaca, dia juga tidak mengimani Al Quran.
Walau Ahok berkata tidak bermaksud menistakan, publik menganggapnya tidak pantas.
Situational Context (Konteks Situasi)
Ahok: Menyampaikan dalam pertemuan kunjungan kerja yang ditujukan untuk mensosialisasikan prestasi kerja / program kerja pemerintah. Secara implisit, menyisipkan pesan kampanye politiknya dengan menyinggung ayat Quran. Disampaikan dalam ruang terbuka, di hadapan pendengar yang majemuk.
Habib: Menyampaikan dalam majelis ilmu, dalam tema yang ditujukan untuk membahas fenomena munculnya ulama yang memelintirkan ayat, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Disampaikan dalam lingkup tertutup (terbatas), di hadapan jamaahnya sendiri.
Ucapan Habib sesuai dengan tema pembahasannya, pada media (waktu dan tempat) yang sesuai. Seperti orang yang tertawa di tengah keriaan; pada tempatnya. Ibarat ucapan dokter yang pedih namun dinilai sebagai kebenaran. Publik meresponnya sebagai peringatan.
Sementara Ahok mengucapkannya tidak pada konteks situasi yang dapat diterima. Publik meresponkan sebagai tuduhan (mereka yang berbohong) dan penistaan (alat kebohongan).
Recipients (Petutur)
Ahok: Penduduk pulau dan pegawai pemda. Pendengar majemuk (beragam agama). Tidak terdapat ikatan yang kuat dan kepercayaan antara pendengar dan pembicara terkait apa yang dituturkan. (Kemudian disebarkan dan mendapat perhatian publik yang lebih luas).
Habib: Jamaahnya sendiri. Pendengar tunggal (kaum muslim). Terdapat ikatan yang kuat dan kepercayaan antara pendengar dan pembicara terkait apa yang dituturkan.
Pada kasus Ahok, pendengar hanya berharap Ahok berbicara terkait agenda kunjungan kerjanya dan tidak berharap Ahok menyinggung ayat Quran dalam pemaparannya. Seperti tamu yang datang berkunjung, mereka tidak berharap tuan rumah mengkritisi penampilannya. Itu dianggap tidak sopan. Sedangkan Habib berhadapan dengan jamaah yang memang datang untuk mendengar tausiyah sesuai tema. Jamaah siap mendengar apapun yang dikatakan Habib. Seperti teman yang memang dengan sadar datang meminta saran, dia akan bersiap dengan penilaian buruk.
“Jadi, subjektif dong?” Benar!
Makna bahasa itu tidak mutlak sama. Jangan karena A berkata hal yang sama seperti B, lantas pendengar dituntut merespon dengan cara yang sama. Jika tidak sama, maka pasti benci dengan salah satunya.
Aaaah, terlalu sempit untuk cepat berprasangka demikian. Coba nikmati kopimu... :D
Tante Julia T Wood, dalam bukunya Interpersonal Communication (2010) berkata “The meanings of language are subjective.”
Because symbols are abstract, ambiguous, and arbitrary; the meaning of words are never self-evident or absolute (Duck, 1994a, 1994b; Shotter, 1993). Kita mengkonstruksi makna dalam proses interaksi dengan orang lain melalui dialog yang mengalir dan tercerna di kepala kita.
Language use is rule-guided! (Wood, 2010). Kalian yang pernah ikuti kelas Bahasa Inggris (saya) tentu paham dengan aturan yang mengatur pengucapan (rules that govern pronunciation / phonology) dan struktur kalimat (sentence structure / syntax). Selain dua aturan tersebut ada aturan komunikasi (communication rules), yang terbagi pemahaman atas apa arti komunikasi dan jenis komunikasi apa yang pantas (sesuai) dalam situasi tertentu.
Kalian yang pernah ikuti kelas Public Relations (saya) tentunya juga lazim dalam menyusun perencanaan komunikasi strategis, kita selalu lebih dulu menganalisa target audience, merancang key messages, menentukan key speaker, dan media yang digunakan untuk menyampaikan pesan (key messages).
Why? Because that all matters!
Jadi, jika ingin >>>halaman selanjutnya
0 Response to "PERNYATAAN AHOK VS HABIB RIZIEQ MENURUT KAJIAN BAHASA BAGIAN 3"
Post a Comment