Santri Melawan Penjajah |
SEJARAH PERJUANGAN SANTRI MELAWAN PENJAJAH
KH R. AS’AD SYAMSUL ARIFIN MENGAWAL NEGARA DARI TAPAL KUDA
JIC – Kiai Raden As’ad Syamsul Arifin lahir pada 1897 M/1315 H di Syi’ib Ali, Makkah dari pasangan Raden Ibrahim dan Siti Maemunah. Ketika As’ad kecil lahir, ayahnya langsung memeluk bayi mungil itu dan dibawa menuju Ka’bah. Jarak sejauh 200 meter antara Syi’ib Ali dan Ka’bah tidak menjadi halangan untuk membawa bayi ini mendekat ke pusaran suci umat muslim. Raden Ibrahim kemudian membisikkan adzan dan memberi bayi itu nama As’ad.
Ketika usia 13 tahun, As’ad kecil mondok di Banyuanyar di bawah asuhan Kiai Abdul Majid dan KH. Abdul Hamid. Dan pada usia 16 tahun, As’ad dikirim ayahandanya mengaji ke tanah suci Makkah, tanah kelahirannya. Ia belajar di Madrasah Shaulatiyyah. Selain itu, ia juga berguru kepada Sayyid Abbas al-Maliki, Syekh Hasan al-Yamani, Syekh Hasan Masyath, Syekh Bakir dan Syekh Syarif asy-Syinqithi. As’ad belajar di Makkah bersama kawan-kawannya yang juga banyak yang berasal dari Nusantara, di antaranya: KH. Zaini Mun’im, KH. Ahmad Thoha, KH. Baidhawi Banyuanyar Pameksaan, dan beberapa santri lainnya.
Setelah bertahun-tahun belajar di Makkah, As’ad kembali ke kampung halaman pada tahun 1924. Ia merasa masih belum memiliki keilmuan yang cukup, meski keahlian ilmu agamanya sudah tidak diragukan.
Sebagaimana tradisi santri Nusantara, As’ad kemudian meneruskan langkahnya untuk melakukan perjalanan ilmiah (rihlah ilmiyyah) sebagai santri petualang ilmu, dari pesantren satu ke pesantren lainnya. Kiai As’ad mengaji tabarukkan di beberapa pesantren di tanah Jawa dan Madura, antara lain: Pesantren Sidogiri Pasuruan (asuhan KH. Nawawi), pesantren Siwalan Panji Buduran Sidoarjo (asuhan KH. Khazin), Pesantren an-Nuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura, Pesantren Kademangan Bangkalan (KH. Muhammad Cholil) dan Pesantren Tebu Ireng Jombang.
Sebagaimana tradisi santri Nusantara, As’ad kemudian meneruskan langkahnya untuk melakukan perjalanan ilmiah (rihlah ilmiyyah) sebagai santri petualang ilmu, dari pesantren satu ke pesantren lainnya. Kiai As’ad mengaji tabarukkan di beberapa pesantren di tanah Jawa dan Madura, antara lain: Pesantren Sidogiri Pasuruan (asuhan KH. Nawawi), pesantren Siwalan Panji Buduran Sidoarjo (asuhan KH. Khazin), Pesantren an-Nuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura, Pesantren Kademangan Bangkalan (KH. Muhammad Cholil) dan Pesantren Tebu Ireng Jombang.
Pengalaman mengaji di Makkah dan beberapa pesantren di Jawa-Madura membuat karakter pribadi serta keilmuan Kiai As’ad menjadi mendalam. Pesantren Tebu Ireng lah yang paling membentuk kepribadian Kiai As’ad. Ketika menyebut Kiai Hasyim As’ari (1875-1947) dan Pesantren Tebu Ireng, Kiai As’ad menunjukkan ta’dzim yang sangat tinggi. Di bawah asuhan Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiai As’ad menemukan karakter, wawasan, perspektif hingga semangat perjuangan untuk kemerdekaan. Di Tebu Ireng, Kiai As’ad berkawan dengan para santri pejuang, yang kelak menjadi garda depan Nahdlatul Ulama (NU) dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Di antaranya, yakni KH. Wahab Chasbullah (1888-1971), KH. Bisri Syansuri (1886-1980), KH. Abbas Buntet (1879-1946), KH. Wahid Hasyim, dan beberapa kiai lainnya.
Mediator Pendirian NU
Dalam proses pendirian NU, peran Kiai As’ad Syamsul Arifin sangat besar. Beliaulah yang menjadi mediator antara Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dan Syaichona Chalil Bangkalan. Pada masa menjelang berdirinya NU, Kiai Chalil Bangkalan mengutus Kiai As’ad ke Tebu Ireng, untuk menemui Kiai Hasyim Asy’ari.
Pesan Syaichona Chalil kepada Kiai Hasyim Asy’ari berwujud perlambang-perlambang yang menggambarkan konteks dan filosofi di balik pentingnya kesatuan ulama. Kiai As’ad diutus oleh Syaichona Chalil untuk menyampaikan sebuah tasbih dan ucapan surat Thaha (17-23), yang menceritakan mukjizat Nabi Musa dan tongkatnya—kepada Kiai Hasyim Asy’ari. Kemudian, peristiwa ini terulang kembali, ketika Syaichona Chalil mengirim Kiai As’ad ke Tebu Ireng, untuk menyampaikan pesan berupa wirid “Ya Jabbar Ya Qahhar”. Pesan simbolik berupa tasbih, surah Thaha dan wirid-wirid tersebut, mengandung maksud bahwa Syaichona Chalil merestui pendirian NU dan Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari menjadi pemimpin spritual ulama Nusantara. Peran penting Kiai As’ad, menjadikan beliau sering disebut sebagai mediator berdirinya Nahdlatul Ulama.
Dalam proses pendirian NU, peran Kiai As’ad Syamsul Arifin sangat besar. Beliaulah yang menjadi mediator antara Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dan Syaichona Chalil Bangkalan. Pada masa menjelang berdirinya NU, Kiai Chalil Bangkalan mengutus Kiai As’ad ke Tebu Ireng, untuk menemui Kiai Hasyim Asy’ari.
Pesan Syaichona Chalil kepada Kiai Hasyim Asy’ari berwujud perlambang-perlambang yang menggambarkan konteks dan filosofi di balik pentingnya kesatuan ulama. Kiai As’ad diutus oleh Syaichona Chalil untuk menyampaikan sebuah tasbih dan ucapan surat Thaha (17-23), yang menceritakan mukjizat Nabi Musa dan tongkatnya—kepada Kiai Hasyim Asy’ari. Kemudian, peristiwa ini terulang kembali, ketika Syaichona Chalil mengirim Kiai As’ad ke Tebu Ireng, untuk menyampaikan pesan berupa wirid “Ya Jabbar Ya Qahhar”. Pesan simbolik berupa tasbih, surah Thaha dan wirid-wirid tersebut, mengandung maksud bahwa Syaichona Chalil merestui pendirian NU dan Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari menjadi pemimpin spritual ulama Nusantara. Peran penting Kiai As’ad, menjadikan beliau sering disebut sebagai mediator berdirinya Nahdlatul Ulama.
Kiai As’ad juga mengomando Laskar Sabilillah dan Hizbullah. Sosok Kiai As’ad sangat disegani oleh ketiga laskar di kawasan Tapal Kuda, yakni anggota Laskar Sabilillah, Hizbullah dan Pelopor. Kharisma Kiai As’ad menjadikan para kiai yang tergabung dalam barisan Laskar Sabilillah mendengarkan seluruh nasihat, wejangan dan komando Kiai As’ad. Para santri dan pemuda yang tergabung dalam barisan Laskar Hizbullah juga setia pada strategi dan komando yang diberikan Kiai As’ad. Bahkan, para bandit yang bergerak dalam Barisan Laskar Pelopor juga sendika dawuh (tunduk) dengan perintah Kiai As’ad. Kombinasi ketiga laskar inilah yang menjadi senjata ampuh untuk melawan penjajah di kawasan Tapal Kuda.
Kiai As’ad bersama Kiai Abdus Shomad (sepupunya, pemimpin Seinin dan Keibodan), pada zaman Jepang, pernah mendapat kursus militer di Jember. Teknik dasar militer inilah yang menjadi pondasi strategi Kiai As’ad dan beberapa kiai lainnya, dalam menyusun rencana perjuangan militer yang dipadukan dengan kekuatan santri (Hasan, 2003: 82-84).
Kiai As’ad bersama Kiai Abdus Shomad (sepupunya, pemimpin Seinin dan Keibodan), pada zaman Jepang, pernah mendapat kursus militer di Jember. Teknik dasar militer inilah yang menjadi pondasi strategi Kiai As’ad dan beberapa kiai lainnya, dalam menyusun rencana perjuangan militer yang dipadukan dengan kekuatan santri (Hasan, 2003: 82-84).
Berjuang Mengawal Negeri
Sosok Kiai As’ad Syamsul Arifin menjadi inspirasi bagi santri masa kini. Beliau memiliki keilmuan, kemampuan dan visi perjuangan yang lengkap. Kiai As’ad memiliki kedalaman ilmu agama yang tidak diragukan, mengusai ilmu militer dan bela diri, serta berhasil mengomando para bandit agar membantu perjuangan santri dalam mengawal kemerdekaan Indonesia.
Dalam catatan Syamsul A Hasan (2003), salah satu kecerdikan Kiai As’ad adalah kemampuannya dalam mengorganisir bajingan-bajingan, brandal dan jawara yang sebagian besar berasal dari kawasan Tapal Kuda. Para bandit dan jawara dari Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, Probolinggo, Jember, Lumajang dan Pasuruan dikumpulkan untuk diajak berjuang melawan penjajah Belanda. Barisan bandit ini, kemudian dihimpun sebagai dengan satu nama: “Pelopor”. Barisan Pelopor ini, sering berpakaian serba hitam, mulai dari baju, celana, hingga tutup kepala. Mereka menggunakan senjata celurit, rotan dan keris. Uniknya, para jawara yang berada di barisan Pelopor ini, tunduk dan setia pada komando Kiai As’ad Syamsul Arifin.
Kiai As’ad memerintahkan para pejuang Pelopor bagian logistik untuk mengirim pejuang yang berada di hutan. Pasukan Pelopor, Sabilillah, Hizbullah, dan pasukan lain berjuang dengan strategi gerilya. Mereka masuk gunung dan keluar gunung, untuk menyerang pasukan Belanda, lalu mengamankan diri. Mereka menggunakan taktik: “serang dan lari”! Strategi ini dilakukan oleh para santri yang tergabung dalam pelbagai laskar, hingga Negara Republik Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda, pada Desember 1949.
Kiai As’ad mengutus beberapa anggota pasukan Pelopor dan Sabilillah untuk mengambil senjata milik pasukan Belanda. Di kawasan Situbondo, tugas ini dikomando oleh Mawie dan Hamid, barisan Sabilillah. Menariknya, mereka merekrut para brandal yang siap berjuang untuk negara Indonesia. Pada malam hari, para brandal dan preman ini, mengambil senjata-senjata milik Belanda di beberapa Pabrik Gula (PG) kawasan Situbondo. Pada masa penjajahan, Pabrik Gula memegang peran vital sebagai lumbung ekonomi Belanda, hingga mendapat akses langsung ke birokrasi pusat. Di PG, para pekerja keamanan diberi fasilitas senjata. Setelah senjata terkumpul, kemudian dibagikan kepada anggota Pelopor, Sabilillah, Hizbullah, dan pejuang-pejuang lainnya.
Kiai As’ad memerintahkan para pejuang Pelopor bagian logistik untuk mengirim pejuang yang berada di hutan. Pasukan Pelopor, Sabilillah, Hizbullah, dan pasukan lain berjuang dengan strategi gerilya. Mereka masuk gunung dan keluar gunung, untuk menyerang pasukan Belanda, lalu mengamankan diri. Mereka menggunakan taktik: “serang dan lari”! Strategi ini dilakukan oleh para santri yang tergabung dalam pelbagai laskar, hingga Negara Republik Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda, pada Desember 1949.
Kiai As’ad mengutus beberapa anggota pasukan Pelopor dan Sabilillah untuk mengambil senjata milik pasukan Belanda. Di kawasan Situbondo, tugas ini dikomando oleh Mawie dan Hamid, barisan Sabilillah. Menariknya, mereka merekrut para brandal yang siap berjuang untuk negara Indonesia. Pada malam hari, para brandal dan preman ini, mengambil senjata-senjata milik Belanda di beberapa Pabrik Gula (PG) kawasan Situbondo. Pada masa penjajahan, Pabrik Gula memegang peran vital sebagai lumbung ekonomi Belanda, hingga mendapat akses langsung ke birokrasi pusat. Di PG, para pekerja keamanan diberi fasilitas senjata. Setelah senjata terkumpul, kemudian dibagikan kepada anggota Pelopor, Sabilillah, Hizbullah, dan pejuang-pejuang lainnya.
Jaringan pejuang di kawasan Bondowoso dan Jember juga melakukan hal yang sama, merebut senjata dari pasukan Belanda. Para anggota Pelopor mengirim senjata ke markas pejuang Kiai As’ad, dengan melewati hutan belantara. Strategi ini, agar misi ini tidak diketahui oleh pasukan Belanda. Setelah sampai di Sukorejo, senjata-senjata ini dikumpulkan, disimpan di bawah lumbung padi, dipendam di masjid, atau ditanam di kuburan (Hasan, 2003: 131-134).
Salah satu motivasi dan petuah penting Kiai As’ad tentang perjuangan adalah bagaimana niat menjadi utama: “Perang itu harus niat menegakkan agama dan ‘arebbuk negere (merebut negara), jangan hanya ‘arebbuk negere! Kalau hanya ‘arebbuk negere, hanya mengejar dunia, akhiratnya hilang! Niatlah menegakkan agama dan membela negara sehingga kalau kalian mati, akan mati syahid dan masuk surga!” (Rahman, 2015: 138).
Pemikiran, strategi dan teladan yang diwariskan oleh Kiai As’ad Syamsul Arifin harus menjadi semangat bagi santri masa kini. Apa yang bisa dipetik dari kisah Kiai As’ad? Bahwa santri harus tetap menjaga jalur pengetahuan (sanad) dengan para kiai, mendalami ilmu-ilmu agama yang menjadi benteng kokohnya Islam, merawat Nahdlatul Ulama, serta membela negeri ini kelompok yang ingin merusaknya. Semangat KH. Raden As’ad Syamsul Arifin dapat menjadi pedoman bagi santri untuk menjaga negeri, mengawal kesatuan bangsa ini.
Pemikiran, strategi dan teladan yang diwariskan oleh Kiai As’ad Syamsul Arifin harus menjadi semangat bagi santri masa kini. Apa yang bisa dipetik dari kisah Kiai As’ad? Bahwa santri harus tetap menjaga jalur pengetahuan (sanad) dengan para kiai, mendalami ilmu-ilmu agama yang menjadi benteng kokohnya Islam, merawat Nahdlatul Ulama, serta membela negeri ini kelompok yang ingin merusaknya. Semangat KH. Raden As’ad Syamsul Arifin dapat menjadi pedoman bagi santri untuk menjaga negeri, mengawal kesatuan bangsa ini.
Semoga Allah akan senantiasa mengabulkan doa-doa kita dengan segala dimensinya. Aamiin
0 Response to "SEJARAH PERJUANGAN SANTRI MELAWAN PENJAJAH"
Post a Comment